Minggu, 09 Oktober 2011

konsumsi dlm islam


BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN KONSUMSI
            Pengertian konsumsi secara umum adalah pemakaian dan penggunaan barang-barang  dan jasa.[1] Konsumsi sebenarnya tidak identik dengan  makan dan minum dalam istilah teknis sehari-hari, akan tetapi juga meliputi pemanfaatan atau pendayagunaan segala sesuatu yang dibutuhkan  manusia. Tujuan konsumsi dalam islam adalah untuk mewujudkan maslahah duniawi dan ukhrawi. Maslahah duniawi ialah terpenuhinya kebutuhan dasar manusia, seperti makanan, minuman, pakaian, perumahan, kesehatan,pendidikan ( akal ). Kemaslahatan akhirat ialah terlaksananya kewajiban agama seperti shalat dan haji. Artinya manusia makan dan minum agar  bias beribadah kepada Allah. Manusia berpakaian untuk menutup aurat agar bias shalat, haji, bergaul social dan terhindar dari perbuatan mesum ( nasab ).
Surat al-A’raf
“ Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap memasuki masjid, makan dan minumlah, dan jangan berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan. “ (QS. Al-A’raf:31)

            Jika manusia telah mendapatkan dan menikmati sesuatu, maka ia ingin mendapatkan yang satu lainnya. Inilah karakter manusia materialis yang tidak disetujui Islam. Karakter ini dalam ilmu ekonomi disebut homo economicus. Konsep ini bertentangan dengan etika ekonomi Islam. Islam mengajarkan bahwa manusia adalah homo Islamicus, bukan homo Economicus.
Selanjutnya, yang harus diperhatikan adalah bahwa produk atau segala sesuatu yang dikonsumsi itu harus halal dan thayib.
Allah Swt berfirman,
“ Hai orang-orang yang berima, makanlah yang halal lagi baik dari apanyang terdapat terdapat di bumi dan jnganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan, karena sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 168)
            Makanan yang buruk ( keji/kotor ) akan merusak jasmani dan kesehatan orang yang mengkonsumsinya seperti bangkai, babi, miras, narkoba, makanan yang mengandung gelatin babi, formalin dll. Barang-barang halal yang dikonsumsi bukan saja makanan tapi juga alat kecantikan ( kosmetik ) yang tidak jelas kehalalannya.
            Tuntutan Islam dalam mengkonsumsi makanan dan minuman adalah mencari yang ma’ruf dan baik. Sebagai abugerah Allah, Dia berikan segalanya kepada manusia, berupa pakaian, minuman, makanan, perumahan, kendaraan, alat komunikasi, alat rumah tangga, dll. Yang terpenting adalah Allah mengingatkan kita untuk tidak berbuat boros dan berlebih-lebihan. Termasuk dalam israf dan berlebih-lebihan adalah aktualisasi watak manusia yang terus ingin menukar dan mengganti alat yang dikonsumsi, padahal fungsi dan kualitas barang yang lama masih bagus.
            Islam menggariskanahwa tujuan konsumsi bukan hanya sekedar memenuhi kepuasan terhadap barang, namun yang lebih utama adalah sarana untuk mencapai kepuasan sejati yang utuh dan komprehensif, yaitu kepuasan dunia dan akhirat. Kepuasan tidak saja dikaitkan dengan kebendaan, tetapi juga dengan ruhaniyah, ruhaniyah atau spiritual, dan kepuasan terhadap konsumsi suatu benda yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam harus ditinggalkan. Oleh karena itu rasional konsumen dalam ekonomi islam adalah konsumen yang dapat memandu perilakunya agar dapat mencapai kepuasan maksimum sesuai dengan norma-norma Islam yang dapat pula diistilahkan dengan maslahah. Jadi tujuan konsumen Muslim bukanlah memaksimumkan utility, tetapi memaksimumkan maslahah.
B. KETENTUAN ISLAM DALAM KONSUMSI
            Islam adalah agama yang memiliki keunikan tersendiri dalam hal syaria’ah. Syariah ini bukan saja menyeluruh atau komprehensif tetapi juga universal. Berbeda dengan system lainnya, Islam mengajarkan pola konsumsi yang moderat, tidak berlebihan tidak juga keterlaluan, lebih lanjut al-Qur’an melarang terjadinya perbuatan tabzir dan mubazir. Konsumsi adalah permintaan sedangkan produksi adalah penyediaan. Kebutuhan konsumen yang kini dan yang telah diperhitungkan sebelumnya merupakan intensif pokok bagi kegiatan-kegiatan ekonominya sendiri. Mereka mungkin tidak hanya menyerap pendapatannya tetapi juga member insentif untuk meningkatkannya. Hal ini berarti bahwa pembicaraan mengenai konsumsi adalah penting dan hanya para ahli ekonomi yang mempertunjukkan kemampuannya untuk memahami dan menjelaskan prinsip produksi dan konsumsi.
            Islam tidak mengakui kegemaran materialistis semata-mata dan pola konsumsi modern. Islam berusaha menurangi kebutuhan material manusia yang luar biasa sekarang ini. Untuk menghasilkan energy manusia akan selalu mengejar cita-cita spiritualnya. Menurut mannan bahwa perintah Islam mengenai konsumsi dikendalikan oleh lima prinsip[2], yaitu:
  1. Prinsip Keadilan
  2. Prinsip Kebersihan
  3. Prinsip Kesederhanaan
  4. Prinsip Kemurahan Hati
  5. Prinsip Moralitas.
Lebih lanjut , Mannan menjelaskan bahwa aturan pertama mengenai konsumsi terdapat dalam ayat suci al-Qur’an yang artinya
“ Hai orang-orang yang berima, makanlah yang halal lagi baik dari apanyang terdapat terdapat di bumi dan jnganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan, karena sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 168)
            Syarat yang mengandung arti ganda, baik mengenai mencari rezeki secara halal dan yang dilarang menurut hokum. Syara kedua tercantum dalam kitab suci al-Qur’an naupun as-Sunnah, yaitu makanan harus baik atau cocok untuk dimakan, tidak kotor ataupun menjijikkan sehingga merusak selera. Syarat ketiga yang mengatur prilaku manusia mengenai makanan dan minuman adalah sikap  tidak berlebihan yang berate janganlah makan secara berlebihan. Arti penting ayat ini adalah kenyataan bahwa kurang makan dapat mempengaruhi pembangunan jiwa dan tubuh, demikian pula bila perut diisi secara berlebihan tentu aka nada pengaruhnya pada pencernaan. Praktek memantangkan jenis makan tertentu dengan tegas tidak dibolehkan dalam islam. Syarat keempat adalah kemurahan hati; dengan berpegangan dan menaati syariat islam dan tidak ada bahaya maupun dosa ketika makan-makanan dan minuman yang halal yang disediakan Allah karena kemurahannya. Tujuan akhir dari makan dan minum adalah untuk meningkatkan kemajuan nilai-nilai moral dan spiritual . prinsip ini didasarkan pada kaidal al-Quran, bahwa sementara orang mungkin merasakan sedikit kenikmatan atau keuntungan dengan minum-minuman keras dan makanan terlarang lainnya, tetapi hal itu dilarang karena adanya bahaya yang mungkin ditimbulkannya lebih besar daripada kenikmatan atau keuntungan yang mungkin diperbolehkannya.
Konsumsi pada hakikatnya adalah mengeluarkan sesuatu dalam rangka memenuhi kebutuhan. Konsumsi meliputi keperluan, kesenangan dan kemewahan. Kesenangan atau keindahan diperbolehkan asal tidak berlebihan, yaitu tidak melampaui batas yang dibutuhkan oleh tubuh dan tidakpula melampaui batas-batas makanan yang dihalalkan Yang terkandung dalam QS al-A’raf:
Konsumen muslim tidak akan melakukan permintaan terhadap barang sama banayak dengan pendapatan, sehingga pendapatan habis. Krena mereka mempunyai kebutuhan janglka pendek (dunia) kebutuhan jangka panjang (akhirat).
(Matan lain: Nasa’I 2512, ibnu majah 3595)
Ini berarti permintaan harus dihentikan setelah kebutuhan akhirat harus dibayarkan, yaitu zakat. Dala lmu ekonomi konvensional, konsumsi agregat terdiri dari konsumsi barang kebutuha dasar (Cn) serta konsumsi barang mewah (c1) dan dapat mempengaruhi konsumsi adalah tingkat harga dan pendapatan. Dalam islam tingkat harga saja tidak cukup untuk mengurangi konsumsi barang mewah, tetapi dibutuhkan factor  moral dan social, diantaramnya adalah kewajiban membayar zakat.
Ajaran islam sebenarnya bertujuan untuk meningkatkan ummat manusia agar membellanjakan harta sesuai kemampuanya. Pengeluaran tidak seharusnya melebihi pendapatan dan juga tidak menekan ppengeluaran terlalu rendah sehingga mengarah pada kebakhilan. Manusia sebaiknya bersifat moderat dalam pengeluaran. Sehingga tidak mengurangi sirkulasi kekayaan dan juga tidak melemahkan kekuatan ekonomi masyaerakat akibat pemborosan.
1. Prinsip konsumsi menurut perfektif islam
a.       Halal
b.      Baik / bergizi
c.       Makan dan minum secukupnya
d.      Tidak mengandung riba, tidak kotor/najis dan tidakl menjijikan
e.       Bukan hasil suap

2. Sasaran konsumsi
a.       Konsumsi untuk diri sendiri
b.      Konsumsi sebagai tanggung jawab social.

C. MASLAHAH DALAM KONSUMSI
            Maslahah memiliki kandungan yang terdiri dari manfaat dan berkah. Demikian pula dengan perilaku konsumsi, seorang konsumen akan mempertimbangkan manfaat dan berkah yang dihasilkan dari kegiatan konsumsinya. Konsumen mearasakan adanya manfaat suatu kegiatan konsumsi ketika ia mnedapatkan pemenuhan kebutuhan fisik atau psikis atau material. Disisi lain, berkah akan diperolehnya ketika ia mengonsumsi yang halal saja merupakan dihalalkan oleh syariat Islam. Mengonsumsi yang halal saja merupakan kepatuhan kepada Allah, karenanya memperoleh pahala. Pahala inilah yang kemudian dirasakan sebagai berkah dari barang/jasa yang telah dikonsumsi. Sebaliknya, konsumen tidak akan mengonsumsi barang/jasa yang haram karena tidak mendatangkan berkah. Mengonsumsi yang haram akan menimbulkan dosa yang pada akhirnya akan berujung pada siksa Allah. Jadi mengonsumsi yang haram justru memberikan berkah negative. Konsumsi dirasakan kemaslahahannya jika dilihat dari beberapa segi[3], yaitu:

  1. Kebutuhan dan Keinginan
Bila masyarakat menghendaki lebih banyak akan suatu barang atau jasa, maka hal ini akan tercermin pada kenaikkan permintaan akan barang/jasa tersebut. Kehendak seseorang untuk membeli atau memiliki suatu barang/jasa bias muncul karena factor kebutuhan ataupun factor keinginan. Kebutuhan ini terkait dengan segala sesuatu yang harus dipenuhi agar suatu barang berfungsi secara sempurna.
Disisi lain, keinginan adalah  ataupun harapan seseorang jika dipenuhi belum tentu akan meningkatkan kesempurnaan fungfungsi manusia ataupu suatu barang. Secara umum, pemenuhan terhadap kebutuhan akan memberikan tambahan manfaat fisik, spiritual, intelektual ataupun material, sedangkan pemenuhan keinginan akan menambah kepuasan atau manfaat psikis di samping manfaat lainnya. Jika suatu kebutuhan diinginkan oleh seseorang, maka pemenuhan kebutuhan tersebut akan melahirkan mashlahah sekaligus kepuasan, namun jika pemenuhan kebutuhan tidak dilandasi oleh keinginan, maka hanya akan memberikan manfaat semata. Secara umum dapat dibedakan antara kebutuhan dan keinginan sebagaimana dalam table berikut:
KARAKTERISTIK
KEINGINAN
KEBUTUHAN
Sumber
Hasrat ( nafsu ) manusia
Fitrah manusia
Hasil
Kepuasan
Manfaat & berkah
Ukuran
Preferensi atau selera
Fungsi
Sifat
Subjektif
Objektif
Tuntunan Islam
Dibatasi/dikendalikan
Dipenuhi
 
            Ajaran islam tidak melarang manusia untuk memenuhi kebutuhan ataupun keinginannya, selama dengan pemenuhan tersebut, maka martabat manusia bias meningkat. Semua yang ada di bumi ini diciptakan untuk kepentingan manusia, namun manusia diperintahkan untuk mengkonsumsi barang/jasa yang halal dan baik saja secara wajar, tidak berlebihan. Pemenuhan kebutuhan ataupu keinginan tetap dibolehkan selama hal itu mampu menambah mashlahah atau tidak mendatangkan mudharat.
  1. Mashlahah dan Kepuasan
            Jika dilihat kandungan mashlahah dari suatu barang/jasa yang terdiri dari manfaat dan berkah, maka di sini seolah tampak bahwa manfaat dan kepuasan adalah identik. Kepuasan adalah sutu akibat dari terpenuhinya suatu keinginan, sedangkan mashlahah merupakan suatu akibat atas terpenuhinya suatu keinginan, sedangkan mashlahah merupakan suatu kebutuhan juga akan memberikan kepuasan terutama jika kebutuhan tersebut didasari dan diinginkan. Kepuasan bersifat individualis, mashlahah tidak hanya bias diraskan oleh individu. Mashlahah bias jadi diarasakan oleh selain konsumen, yaitu dirasakan oleh sekelompok masyarakat.
  1. Mashlahah dan nilai-nilai Ekonomi Islam
            Perekonomian islam akan terwujud jika prinsip dan nilai-nilai islam diterapkan secara bersama-sama. Pengabdian terhadap salah satunya akan membuat perekonomian pincang. Penerapan prinsip ekonomi yang tanpa diikuti oleh pelaksanaan nilai-nilai islam hanya akan memberikan manfaat ( mashlahah duniawi ), sedangkan pelaksanaan sekaligus prinsip dan nilai akan melahirkan manfaat dan berkah atau mashlahah dunia akhirat.
  1. Penentuan dan Pengukuran Mashlahah bagi Konsumen
            Besarnya berkah yang diperoleh berkaitan langsung dengan frekuensi kegiatan konsumsi yang dilakukan. Semakin tinggi frekuensi kegiatan yang ber-mashlahah, maka semakin besar pula berkah yang akan diterima oleh pelaku konsumsi. Dalam al-qur’an, Allah menjelaskan bahwa setiap amal perbuatan ( kebaikan maupun keburukan ) akan dibalas dengan imbalan ( pahala maupun siksa ) yang setimpal meskipun amal perbuatan itu sangatlah kecil bahkan sebesar biji sawi. Dengan demikian, mashlahah ditafsirkan bahwa mashlahah yang diterima akan meupakan perkalian antara pahala dan frekuensi kegiatan tersebut. Demikian pula dalam hal konsumsi, besarnya berkah yang diterima oleh konsumen tergantung frekuensi konsumsinya. Semakin banyak barang/jasa halal-thayyib yang dikonsumsi, maka akan semakin besar pula barkah yang akan diterima.
a.       FORMULASI MASLAHAH
      Sebagaimana yang telah diuraikan diatas bahwa mashlahah terkandung unsure manfaat dan berkah. Hal ini bias dituliskan sebagai berikut:

M = F + B
                              KET:
                              M = Mashlahah
                              F = Manfaat
                              B = Berkah
      Dari formulasi di atas dapat ditunjukkan bahwa ketika pahala suatu kegiatan tidak ada, maka mashlahah yang akan diperoleh konsumen adalah hanya sebatas manfaat yang diraskan di dunia. Demikain pula sebaliknya, jika suatu kegiatan yang sudah tidak memberikan manfaat ( di dunia ), maka nilai keberkahannya juga menjadi tidak ada sehingga mashlahah dari kegiatan tersebut juga tidak ada.
b.      PENGUKURAN MASHLAHAH KONSUMEN
      Untuk mengeksplorasi konsep mashlahah konsumen secara mendetail, maka konsumsi dibedakan menjadi dua, yaitu konsumsi yang ditujukan untuk ibadah dan konsumsi untuk memenuhi kebutuhan/keinginan manusia semata.
      Konsumsi ibadah pada dasarnya adalah segala konsumsi atau menggunakan harta di jalan Allah. Islam memberikan imbalan terhadap belanja ( konsumsi ) ibadah dengan pahala yang sangat besar. Konsumsi ibadah ini meliputi belanja untuk kepentingan jihad, pembangunan sekolah, rumah sakit, usaha penyelidikan ilmiah dan amal kebaikan lain.
      Besarnya berkah yang diterima berkaitan dengan besarnya pahala dan mashlahah yang ditimbulkan. Nabi pernha mengatakan bahwa amal sedekah yang membutuhkan kepada orang lain yang lebih membutuhkan. Hadis ini menunjukkan bahwa besarnya manfaat atas suatu amalan akan menambah pahala dan berkah yang diterimanya. Ketika kegiatan duniawi diniatkan untuk beribadah, maka di samping kegiatan itu akan memberikan manfaat bahkan juga akan memberikan berkah bagi pelakunya.
c.       KARAKTERISTIK MANFAAT DAN BERKAH DALAM KONSUMEN
      Ketika konsumen membeli suatu barang/jasa, maka ia akan mendapatkan kepuasan den/atau mashlahah. Kepuasan akan diperoleh jika ia berhasil memenuhi keinginanya dan keinginan ini bias terwujud kebutuhan taupun sekadar kebutuhan semu. Kebutuhan semu ini munculm karena ketidaktahuan manusia tentang kebutuhan hidup manusia yang sesungguhnya.
      Disisi lain, mashlahah dalam konsumen muncul ketika kebutuhan riil terpenuhi, yang belum tentu dapat dirasakan sesaat setelah melakukan konsumsi.
      Kerangka secara garis besar mengenai kapan konsumen akan mendapatkan mashlahah dan berkah[4]. Demikian pula kemungkinan lahirnya mudharat karena adanya kegiatan konsumsi terhadap hal yang sia-sia atau tidak memberikan mafaat maupun hal-hal yang diharamkan.
KEBERADAAN MASHLAHAH DALAM KONSUMSI
Kehalalan Produk
 
Kebutuhan materi
 
Kebutuhan Fisik-Psikis
 
Kebutuhan Intelektul
 
           

Kebutuhan Sosial
 
Kebutuhan generasi yang akan datang
 
Niat Ibadah/Kebaikan
 
Pemenuhan Kebutuhan
 
Berkah
 
Manfaat ( duniawi )
 
Mashlahah
 
 


















1)      Manfaat Material yaitu berupa diperolehnya tambahan harta bagi konsumen akibat pembelian suatu barang/jasa. Manfaat material ini bias berbentuk murahnya harga, discount, murahnya biaya transportasi dan searching; dan semacamnya. Larisnya pakaian dan sepatu obral menunjukkan dominannya manfaat materiil yang diharapkan oleh konsumen.
2)      Manfaat fisik dan psikis, yaitu beripa terpenuhinya kebutuhan fisik atau psikis manusia, seperti rasa lapar, haus, kedinginan, kesehatan, keamanan, kenyamanan, harga diri dan sebagainya. Mulai berkembangnya permintaan rokok kadar rendah nikotin, kopi kadar rendah kafein menunjukkan adanya manfaat fisik-kesehatan- pada rokok dan kopi.
3)      Manfaat intelektual yaitu berupa terpenuhinya kebutuhan akal manusia ketika ia membeli suatu barang atau jasa, seperti kebutuhan tentang informasi, pengetahuan, keterampilan, dan semacamnya. Contoh: permintaan surat kabar, alat ukur suhu, timbangan, dan sebagainya.
4)      Manfaat terhadap lingkungan ( intra generation ) yaitu berupa adanya eksternalitas positif dari pembelian suatu barang/jasa atau manfaat yang bias diraskan oleh selain pembeli pada generasi yang sama.
5)      Manfaat jangka panjang yaitu terpenuhinya kebutuhan duniawi jangka panjang atau terjaganya generasi masa mendatang terhadap kerugian akibat dari tidak membeli suatu barang/jasa. Pembelian bahan bakar biologis ( bio-gas ), misalnya akan memberikan manfaat jangka panjang berupa bersihnya lingkungan meskipun dalam jangka pendek konsumen harus membayar dengan harga lebih mahal.

            Disamping itu, kegiatan konsumsi terhadap barang/jasa yang halal dan bermanfaat akan memberikan berkah bagi konsumen. Berkah ini akan hadir jika seluruh hal berikut ini dilakukan dalam konsumsi[5]:
a.       Barang/jasa yang dikonsumsi bukan merupakan barang haram. Barang/jasa yang diharamkan oleh Islam tidaklah banyak, yaitu babi, darah, bangkai, binatang yang dibunuh atas nama selain Allah atau dipukul, perjudian, riba, zina, dan barang-barang yang najis atau merusak.
b.      Tidak berlebih-lebihan dalam jumlah konsumsi
c.       Diniatkan untuk mendapatkan ridha Allah

D. HUKUM UTILITAS DAN MASHLAHAH
Untuk mengetahui bagaimana perilaku konsumen terhadap mashlahah akan dipaparkan terlebih konsumen[6].
1)                        Hukum Penurunan Utilitas Marginal
Dalam ilmu ekonomi konvensional dikenal adanya hokum mengenai penurunan utilitas marginal ( law of diminishing marginal utility ). Hokum ini mengatakan bahwa jiaka seseorang mengonsumsi suatu barang dengan frekuensi yang diulang-ulang, maka nilai tambahan kepuasan dari konsumsi berikutnya akan semakin menurun. Pengertian konsumsi di sini bias dimaknai mengonsumsi apa saja termasuk mengonsumsi waktu luang. Hal ini berlaku juga untuk setiap kegiatan yang dilakukan seseorang.
Utilitas marjinal ( MU ) adalah tambahan kepuasan yang diperoleh konsumen akibat adanya peningkatan jumlah barang/jasa yang dikonsumsi.
2)                        Hukum Mengenai Mashlahah
Hukum mengenai penurunan utilitas marginal tidak selamanya baerlaku pada mashlahah. Mashlahah dalam konsumsi tidak seluruhnya secara langsung dapat diraskan, terutama mashlahah akhirat atau berkah. Adapun mashlahah dunia manfaatnya sudah bias diraskan setalah konsumsi. Dalam hal berkah, dengan meningkatnya frekuensi kegiatan, maka tidak aka nada penurunan berkah karena pahala yang diberikan atas ibadah mahdhah tidak pernah menurun.
Sedangkan mashlahah dunia akan meningkat dengan meningkatnya frekuensi kegiatan, namun pada level tertentu akan mengalami penurunan. Hal ini dikarenakan tingkat kebutuhan manusia di dunia adalah terbatas sehingga ketika konsumsi dilakukan secara berlebih-lebihan, maka akan terjadi penurunan mashlahah duniawi. Dengan demikian, kehadiran mashlahah akan member “ warna “ dari kegiatan yang dilakukan oleh konsumen mukmin.
a.    Mashlahah Marginal dari Ibadah Mahdhah
Mashlahah marginal ( MM ) adalah perubahan mashlahah, baik berupa manfaat ataupun berkah, sebagai akibat berubahnya jumllah barang yang dikonsumsi. Dalam hal ini ibadah mahdhah, jika pahala yang dijanjikan Allah adalah konstan, maka pelaku ibadah tidak akan mendapatkan manfaat duniawi, namun hanya berharap adanya pahala. Berdasarkan pemaparan yang disebut di muka pada bagian utilitas, maka denngan ini abis dikatakan bahwa seorang konsumen mukmin tidak akan mengalami kebosanan dalam melakukan ibadah mahdhah. Ini terlihat dari nilai mashlahah marginal dari kegiatan ini yang konstan tidak mengalami penurunan seperti halnya pada kasus utilitas.
b.   Maslahah Marginal dari Konsumsi
Menurut islam melakukan suatu kegiatan konsumsi akan bias menimbulkan dosa ataupun pahala tergantung niat, proses, dan produk yang dikonsumsi.  Dengan adanya aspek ibadah dalam konsumsi, maka kegiatan tersebut akan dirasakan mendatangkan berkahnya. Hal ini dapat dideteksi dari adanya pahala yang muncul sebagai akibat dari kegiatan tersebut.
3)                        Hukum Penguatan Kegiatan dari Mashlahah
            Secara lebih spesifik bias dikatakan bahwa seandainya tidak ada kandungan berkah dalam kegiatan, maka konsumen sudah akan mengalami kejenuhan pada frekuensi kedelapan dalam melakukankegiatan tersebut. Dengan kehadiran berkah yang dirasakan oleh konsumen akan memperpanjang rentang preferensi dalam melakukan kegiatan tersebut.

Lemma a[7]
Rounded Rectangle: Keberadaan berkah akan memperpanjang rentang dari suatu kegiatan konsumsi
 



                     Lemma b[8]
Rounded Rectangle: Konsumen yang merasakan adanya mashlahah dan menyukainya akan tetap rela melakukan suatu kegiatan meskipun manfaat dari kegiatan tersebut bagi dirinya sudah tidak ada.
 






E. KESEIMBANGAN KONSUMEN
Keterkaitan antara barangang satu dengan barang yang lain.
1.      Keterkaitan Antarbarang[9]
a.       Komplemen
Bentuk hubungan antara dua buah barang dalam konteks ini bias dilihat ketika seorang konsumen mengonsumsi suatu barang, misalnya barang A, maka dia mempunyai kemungkinan untuk mengonsumsi barang yang lain, barang B.
-          Komplementaritas Sempurna
Tingkat komplementaritas sempurna terjadi jika konsumsi dari suatu barang mengharuskan ( tidak bisa tidak ) konsumen untuk mengonsumsi barang yang lain sebagai penyerta dari barang pertama yang dikonsumsi. Contoh: konsumsi mobil pasti harus disertai dengan konsumsi bensin. Konsumsi tinta printer pasti harus disertai dengan konsumsi kertas.
-          Komplementaritas Dekat
Komplementaritas dekat bisa digambarkan jika seseorang mengonsumsi suatu barang maka dia mempunyai kemungkinan yang besar untuk mengonsumsi barang yang lain. Contoh: Penggunaan sepatu oleh seseorang maka dia mempunyai kemungkinan besar dia akan menggunakan kaos kaki. Seseorang mengonsumsi teh makan mempunyai kemungkinan besar dia juga mengonsumsi gula.

-          Komplementaritas Jauh
Tingkat komplementaritas yang jauh disebabkan karena hubungan antara kedua barang adalah rendah. Contoh: baju dengan penggunaan dasi. Penggunaan baju dengan parfum. Disini jelas terlihat bahwa tingkat kebersamaan dalam penggunaan antara barang yang satu dengan yang lain lebih tidak pasti lagi jika disbanding dengan kasus-kasus sebelumnya
b.      Substitusi
Dalam substitusi hubungan antar barng bersifat negative. Hubungan yang negative adalah jika jumlah konsumsi barang yang satu naik, maka jumlah konsumsi barang lainnya akan turun. Hubungan negative ini  terjadi karena adanya penggantian antara barang yang satu dengan barang yang lain. Contoh: minyak tanah dengan gas.
-          Substitusi Sempurna
Hubungan antara dua buah barang dikatakan substitusi sempurna jika nggunaan dua buah barang tersebut bisa ditukar satu sama lainnya tanpa mengurangi sedikit punkepuasan konsumen dalam menggunakannnya. Contoh: konsumsi terhadap gula. Konsumen tidak pernah mempermasalahkan asal muasal pabrik gula yang dipakai, apakah gula local atau gula impor, apakah produksi pabrik di jawa atau di luar jawa, konsumen tidak pernah mempermasalahkannya karena mereka tidak bisa merasakan perbedaan dalam hal kepuasan yang mereka dapat dari penggunaan gula-gula ini.
-          Substitusi Dekat
Dua barang bisa dikatakan sebagai barang substitusi dekat jika fungsi kedua barang tersebut mampu menggantikan satu sama lain. Namun demikian, penggantian satu terhadap yang lainnya di sini menimbulkan perbedaan kepuasan yang mereka peroleh. Contoh: seorang perokok yang telah menyukai merek tertentu, ia akan selalu merokok dari merek pilihannya tersebut. Dia pada suatu saat tertentu bisa mengganti rokok yang diisapnya dengan rokok merek lain. Namun, pergantian ini akan jelas menimbulkan turunnya kepuasan yang dia terima dari merokok merek lain inin.
-          Substitusi Jauh
Dua buah barang bisa dikatakan sebagai barang substitusi jauh jika dalam penggunaannya konsumen bisa mengganti satu barang dengan barang lainnya hanya dalam keadaan terpaksa saja. Dalam keadaan normal konsumen yang bersangkutan tidak akan mengganti barang yang dikonsumsinya dengan barang lainnya. Contoh: nasi dan roti. Meskipun roti bisa mengganti nasin, namun bagi kebanyakan orang Indonesia, mereka tidak akan makan roti sebagai menu utamanya sepanjang masih ada nasi.
c.       Domain Konsumsi
Melihat ungan antar barang-baran diatas, maka hubungan yang relevan dengan pilihan konsumen di sini adalah hubungan yang kedua, substitusi. Hal ini dikarenakan dua buah barang yang sifatnya saling mengganti, maka akan menimbulkan pilihan, yang kadang menyulitkan bagi konsumen. Sementara kalau dua buah barang yanga sifatnya komplementari, maka tidak akan menimbulkan pilihan bagi konsumen karena barang penyertanya sudah merupakan konsekuensi lanjutan dari konsumsi barang utamanya. Untuk itu, dalam konteks pilihan konsumen maka jenis hubungan yang akan dieksplorasi di sini adalah hubungan yang sifatnya substitusi meskipun hubungan yang komplementari juga akan tetap ditampilkan.
2.      Hubungan Antarbarang yang dilarang oleh Islam
Meskipun jenis hubungan yang akan dieksplorasi di sini adalah hubungan yang sifatnya saling mengganti namun perlu ditentuka domain dari pembahasan substitusi ini. Hokum islam metegaskan tidak dimungkinkan adanya substitusi antara barang haram dan barang halal, kecuali dalam keadaan darurat.

Lemma c[10]
Rounded Rectangle: Islam melarang adanya penggantian ( substitusi ) dari barang atau transaksi yang halal dengan barang atau transaksi yang haram.
 



Hubungan Substitusi yang mustahil dalam islam

 


      40

      30
              haram
      20

      10
       
          0
                                                1                2                             3                      4
Halal
                  Lemma d[11]
Rounded Rectangle: Islam melarang mencampur adukkan antara barang atau transaksi yang halal dengan barang atau transaksi haram
 



Hubungan Komplementer yang Mustahil dalam Islam
 

Haram
             25
             20                              
             15
             10                              
              5
                                0          
                                             1              2          3          4          5          6      Halal
3.      Hubungan Antarbarang dalam Islam
Melihat kedua pemaparan tentang hubungan dua buah barang halal dan haram diatas,maka dirasa perlu untuk menampilkan hubungan kedua buah barang di atas sebagai pedoman dalam berprilaku.

           Haram







 

                  0                                  5                                  10
                                                                              Halal

      Grafik diatas merupakan sebuah garis yang berimpit dengan sumbu horizontal. Untuk menunjukkan bahwa garis ini berimpitan dengan sumbu horizontal, maka horizontal dicetak tebal. Penafsirannya adalah berapapun jumlah barang halal yang dikonsumsi, maka jumlag barang haran yang dikonsumsi adalah tetap. Maknanya, barang haram tidak pernah dikonsumsi dalam situasi yang bagaimanapun.  Maka domain dari konsumsi dalam islam adalah terbatas pada barang/kegiatan yang halal saja. Sehingga komplemen dan substitusti yang terjadi hanyalah untuk barang/kegiatan halal yang lain.






Hubungan Komplementer dalam islam

 

Halal
 







                                                                                 Halal

      Hubungan dari grafik tersebut menggambarkan adanya komplementaritas antara dua barang tersebut. Hal ini tidak menjadi masalah karena kedua barangnya sama halal. Garis yang berupa titik diatas menggambarkan adanya hubungan komplementaritas sempurna antar dua barang yang halal yang menhasilkan tingkat mashlahah sama. Semakin tinggi kombinasi tersebut semakin besar pula mashlahah yan diperoleh.
Hubungan Substitusi Antarbarang Halal

        Halal




 

                                                                                          Halal

                                                                                          
Kurva diatas mencermin tingkat mashlahah yang sama atas kombinasi dua barang yang halal. Kurva yang semakin di atas menunjukkan ke- mashlahah-an yang lebih tinggi.

4.      Permintaan Konsumen
      Dengan membandingkan antardua barang halal substitusi, maka seorang konsumen mukmin dalam memilih barang yang dikonsumsikannya akan mempertimbangkan jumlah mashlahah  intuitif dapat disimpulkan bahwa jika terdapat peningkatan mashlahah pada suatu barang/jasa, maka permintaan akan barang tersebut akan meningkat, dengan menganggap lainnya tidak berubah.
      Jika terdapat kenaikan harga suatu barang, maka konsumen merasakan adanya penurunan manfaat material dari barang tersebut, yaitu berupa berkurangnya materi atau pendapatan jika konsumen tersebut tetap membeli barang/jasa dalam jumlah yang sama. Oleh karena itu konsumen akan mengurangi tingkat pembelian barang/jasanya untuk tetap mempertahankan mashlahah yang ia terima. Hal ini akan dilakukan selama tidak ada perubahan pada mashlahah lainnya, baik manfaat fisik maupun berkahnya.
      Di sisi lain, jika kenaikkan harga suatu barang diikuti oleh perubahan mashlahah lainnya, misalnya kenaikkan manfaat fisik atau psikis barang tersebut ataupun keberkahan atas barang tersebut, maka konsumen belum tentu akan mengurangi jumlah konsumsinya, melainkan setelah ia mempertimbangkan agar mashlahah total yang ia peroleh tetap maksimal.

F . FUNGSI  KESEJAHTERAAN  MENURUT MAXIMIZE, DAN UTILITAN OLEH IMAM AL-GHAZALI
Menurut Ulama Besar, Imam Al-ghazali ada tiga pemikirnya tentang kesejahteraan yaitu konsep maslahat, kesejahteraan social(utilitas), merupakan sebuah konsep yang mencakup semua urusan manusia, baik urusan ekonomi maupun urusan lainya, dan yang membuat kaitan yang erat anatar individu dengan masyarakat. Dalam meningkatkan kesejahteraan social, imam Al-Gahazali mengelompokan dan mengidentifikasi semua masalah baik yang berupa masalih (utilitas,manfaat) maupun mafsaid (disutilitas, kerusakan) dalam meningkatkan kesejahteraan social[12].
            Menurut Al-ghazali, kesejahteraan (maslahah) dari suatu masyarakaat tergantung kepada pencarian dan pemeliharaan lima tujuan dasar : (1) Agama, (2) Hidup/jiwa, (3) keluarga, (4) harta/kekayaaan. Dan (5) akal. Ia menitik beratkan bahwa sesuai tuntunan wahyu, kebaikan dunia akhirat serta dengan niat untuk beribadah kepada Allah (maslahat al-din wa al-dunya)sebagai tujuan akhir manusia.
            Walaupun keselamatan merupaakan tujuan akhir, Al-Ghazali tidak ingin bila pencarian keselamatan ini smapai mengabaikan kewajiban-kewajiban duniawi seseorang. Bahkan pencaharian kegiatan-kegiatan ekonomi bukan saja diinginkan, tetapi merupakan keharusan bila ingin mencapai keselamatan.
            Al-ghazali juga mengidentifikasi tiga alasan mengapa seseorang harus melakukan kegiatan ekonomi[13]:
1.   Mencukupi kebutuhan hidup yang bersangkutan
2.   Mensejahterakan keluarga
3.   Membantu orang lain yang membutuhkan.

1. Fungsi Utility
                 Dalam ilmu ekonomi tingkat kepuasan (utility fungction) digambarkan oleh kurva indeferent (indifference kurve). Biasanya yang digambarkan adalah utility function antara dua barang (atau jasa) yang keduanya memang disukai konsumen.
     

      Dalam membangun teori utility function, digunakan tiga aksioma pilihan rasional.
1.      Completeness
Aksioma  ini mengatakan bahwa setiap individu selalu dapat menentukan keadaaan mana yang lebih disukainya diantara dua keadaan. Bila A dan B adalah dua keadaan yang berbeda, maka individu selalu dapat menentukan secara tepat satu diantara tiga kemungkinan ini:
·         A lebih disukai dari pada B
·         B lebih disukai dari pada A
·         A dab B sama menariknya

2.      Transitivity
Aksioma ini menjelasskan bahwa jika seorang individu mengatakan “A lebih disukai dari pada B,” dan “ B lebih disukai daripada C,” maka ia pasti akan mengatakan bahwa “A lebih disukai dari pada C” Aksioma ini sebenernya untuk memastikan adanya konsisten internal didalam diri individu dalam mengambil keputusan.
3.      Continuity
Aksioma ini menjelskan bahwa setiap individu mengatakan “ A lebih disuklai dari pada B, maka Keadaan yang mendekati A pasti juga lebih disukai dari pada B.










            Ketiga Kosumsi ini dapat kita terjemahkan kedalam bentuk geometris yang selanjutnya lebih sering kita kenal dengan kurva indeverent.
    
 

Barang Y
                                                       D
 

                                                                    E
                                         A
                                                                                                          U1
                                                       B
                                                                               C          U2
 

                                                                                                      Barang X


Dari gamabar diatas menunjukan bahwa titik A, B, dan C berada pada tingkat indefference curve yang sama sehingga tingkat kepuasan pada titik A sama dengan tingkat kepuasan pada titik B atau C yaitu pada U1, sedangkan titik D dan E memberikan tingkat kepuasan yang sama yaitu pada U2.

G. BARANG HALAL, HARAM, DAN ANALISIS KURVA INDIFFERENCE
Kesejahteraan kosumen akan meningkat jika ia mengkonsumsi lebih banyak barang yang bermanfaat, halal dan mengurangi mengkonsumsi baraang yang haram. Dalam islam sudah jelas dan cukup rinci mengklasifikasikan mana baraang yang halal dan mana barang yang haram. Islam juga melarang untuk menghalalkan apa yang sudah ditetapkan haram dan mengharamkan apa-apa yang sudah menjadi halal.
“hai orang-orang yang beriaman, janganlah kamu mengharamkan apa-apa yang baik yang telah Allah Halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman keppada-Nya” (Qs. Al- Maidah ;87-88)
Untuk menerangkan bagaimana kurva indifference dibentuk dari berbagaai komoditass yang telah memisahkan antaraa yang ahalaa-dan haram.= dari komoditas dapat kita lihat pada gambar dibawah ini:
                                X halal (MUx >0)                                                                       X halal (MUx >0)
                                                                  X halal (MUx <0)                                                                       X halal (MUx >0)



                                                                                                                                                                                   X halal (MUx >0)  
                                                                                          X halal (MUx >0)                                                        y halal (MUx >0)
                                                                                          X halal (MUx 0)
BAB III
PENUTUP
A.   KESIMPULAN
Pengertian konsumsi secara umum adalah pemakaian dan penggunaan barang-barang  dan jasa. Tujuan konsumsi dalam islam adalah untuk mewujudkan maslahah duniawi dan ukhrawi. Maslahah duniawi ialah terpenuhinya kebutuhan dasar manusia, seperti makanan, minuman, pakaian, perumahan, kesehatan,pendidikan ( akal ). Kemaslahatan akhirat ialah terlaksananya kewajiban agama seperti shalat dan haji. Artinya manusia makan dan minum agar  bias beribadah kepada Allah.
“ Hai orang-orang yang berima, makanlah yang halal lagi baik dari apanyang terdapat terdapat di bumi dan jnganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan, karena sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 168)
Berbeda dengan system lainnya, Islam mengajarkan pola konsumsi yang moderat, tidak berlebihan tidak juga keterlaluan, lebih lanjut al-Qur’an melarang terjadinya perbuatan tabzir dan mubazir.
Menurut mannan bahwa perintah Islam mengenai konsumsi dikendalikan oleh lima prinsip, yaitu:
1.      Prinsip Keadilan
2.      Prinsip Kebersihan
3.      Prinsip Kesederhanaan
4.      Prinsip Kemurahan Hati
5.      Prinsip Moralitas.
Menurut Ulama Besar, Imam Al-ghazali ada tiga pemikirnya tentang kesejahteraan yaitu konsep maslahat, kesejahteraan social(utilitas), merupakan sebuah konsep yang mencakup semua urusan manusia, baik urusan ekonomi maupun urusan lainya, dan yang membuat kaitan yang erat antara individu dengan masyarakat. Dalam meningkatkan kesejahteraan social, imam Al-Gahazali mengelompokan dan mengidentifikasi semua masalah baik yang berupa masalih (utilitas,manfaat) maupun mafsaid (disutilitas, kerusakan) dalam meningkatkan kesejahteraan social.

B.   SARAN
                            Demi suksesnya dalam pembuatan makalah ini, saya mengharapkan saran serta kritik dari para pembaca. Walau bagaimanapun saya merasa bahwa makalah ini belumlah sempurna dan saran para pembaca tentu akan sangat bermanfaat untuk pembuatan makalah selanjutnya.










DAFTAR PUSTAKA

Nur Diana, Ilfi. Hadis-hadis Ekonomi. Malang: UIN Malang Press. 2008
Sudarsono, Heri. Konsep Ekonomi Islam Suatu Pengantar. Yogyakarta: Ekonisia. 2007
Muhammmad. Ekonomi Mikro dalam Perspektif Islam. Yogyakarta: BPFE Yogyakarta. 2004/2005
Hidayat, Mohamad. An Introduction To The Sharia Economic Pengantar Ekonomi Syariah. Jakarta: Zikrul 2010
A.    Karim, Adiwarman. Ekonomi Mikro Islam Edisi ketiga. Jakarta: Rajawali Press. 2007
Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam ( P3EI ) Universitas Islam Indonesia Yogyakarta atas kerjasama dengan Bank Indonesia. Ekonomi Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2008



[1] Hidayat, Mohammad. An introduction the sharia economic Pengantar Ekonomi Syariah. ( Jakarta: Zikrul, 2010 ), hal 230
[2] Muhammad. Ekonomi Mikro dala Perspektif Islam. ( Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta, 2004 ) hal 164-165
[3] P3EI UII YOGYAKARTA. Ekonomi Islam. (Yogyakarta: Rajawali Pers, 2000) hal 130-144
[4] Ibid. hal 143-45


[5] Ibid. hal 144-145
[6] Ibid. hal 145-148
[7] Ibid. hal 157
[8] Ibid
[9] Ibid. hal 160-163
[10] Ibid. hal 163
[11] Ibid.
[12] S.M. Ghazanfar dan Abdul Azim Islahi, Economic Thought of an Arab Scholastik: abu Hamid al-ghazali.
[13] Ibid, hlm 249,236,mizan,337