BAB
II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN KONSUMSI
Pengertian konsumsi secara umum
adalah pemakaian dan penggunaan barang-barang
dan jasa.[1]
Konsumsi sebenarnya tidak identik dengan
makan dan minum dalam istilah teknis sehari-hari, akan tetapi juga
meliputi pemanfaatan atau pendayagunaan segala sesuatu yang dibutuhkan manusia. Tujuan konsumsi dalam islam adalah
untuk mewujudkan maslahah duniawi dan ukhrawi. Maslahah duniawi ialah
terpenuhinya kebutuhan dasar manusia, seperti makanan, minuman, pakaian,
perumahan, kesehatan,pendidikan ( akal ). Kemaslahatan akhirat ialah
terlaksananya kewajiban agama seperti shalat dan haji. Artinya manusia makan
dan minum agar bias beribadah kepada
Allah. Manusia berpakaian untuk menutup aurat agar bias shalat, haji, bergaul
social dan terhindar dari perbuatan mesum ( nasab ).
Surat
al-A’raf
“
Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap memasuki masjid, makan
dan minumlah, dan jangan berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang berlebih-lebihan. “ (QS. Al-A’raf:31)
Jika manusia telah mendapatkan dan
menikmati sesuatu, maka ia ingin mendapatkan yang satu lainnya. Inilah karakter
manusia materialis yang tidak disetujui Islam. Karakter ini dalam ilmu ekonomi
disebut homo economicus. Konsep ini bertentangan dengan etika ekonomi Islam.
Islam mengajarkan bahwa manusia adalah homo Islamicus, bukan homo Economicus.
Selanjutnya,
yang harus diperhatikan adalah bahwa produk atau segala sesuatu yang dikonsumsi
itu harus halal dan thayib.
Allah
Swt berfirman,
“
Hai orang-orang yang berima, makanlah yang halal lagi baik dari apanyang
terdapat terdapat di bumi dan jnganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan,
karena sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 168)
Makanan yang buruk ( keji/kotor )
akan merusak jasmani dan kesehatan orang yang mengkonsumsinya seperti bangkai,
babi, miras, narkoba, makanan yang mengandung gelatin babi, formalin dll.
Barang-barang halal yang dikonsumsi bukan saja makanan tapi juga alat
kecantikan ( kosmetik ) yang tidak jelas kehalalannya.
Tuntutan Islam dalam mengkonsumsi
makanan dan minuman adalah mencari yang ma’ruf dan baik. Sebagai abugerah
Allah, Dia berikan segalanya kepada manusia, berupa pakaian, minuman, makanan,
perumahan, kendaraan, alat komunikasi, alat rumah tangga, dll. Yang terpenting
adalah Allah mengingatkan kita untuk tidak berbuat boros dan berlebih-lebihan.
Termasuk dalam israf dan berlebih-lebihan adalah aktualisasi watak manusia yang
terus ingin menukar dan mengganti alat yang dikonsumsi, padahal fungsi dan
kualitas barang yang lama masih bagus.
Islam menggariskanahwa tujuan
konsumsi bukan hanya sekedar memenuhi kepuasan terhadap barang, namun yang
lebih utama adalah sarana untuk mencapai kepuasan sejati yang utuh dan
komprehensif, yaitu kepuasan dunia dan akhirat. Kepuasan tidak saja dikaitkan
dengan kebendaan, tetapi juga dengan ruhaniyah, ruhaniyah atau spiritual, dan
kepuasan terhadap konsumsi suatu benda yang bertentangan dengan nilai-nilai
Islam harus ditinggalkan. Oleh karena itu rasional konsumen dalam ekonomi islam
adalah konsumen yang dapat memandu perilakunya agar dapat mencapai kepuasan
maksimum sesuai dengan norma-norma Islam yang dapat pula diistilahkan dengan
maslahah. Jadi tujuan konsumen Muslim bukanlah memaksimumkan utility, tetapi
memaksimumkan maslahah.
B.
KETENTUAN ISLAM DALAM KONSUMSI
Islam adalah agama yang memiliki
keunikan tersendiri dalam hal syaria’ah. Syariah ini bukan saja menyeluruh atau
komprehensif tetapi juga universal. Berbeda dengan system lainnya, Islam mengajarkan
pola konsumsi yang moderat, tidak berlebihan tidak juga keterlaluan, lebih
lanjut al-Qur’an melarang terjadinya perbuatan tabzir dan mubazir. Konsumsi
adalah permintaan sedangkan produksi adalah penyediaan. Kebutuhan konsumen yang
kini dan yang telah diperhitungkan sebelumnya merupakan intensif pokok bagi
kegiatan-kegiatan ekonominya sendiri. Mereka mungkin tidak hanya menyerap
pendapatannya tetapi juga member insentif untuk meningkatkannya. Hal ini
berarti bahwa pembicaraan mengenai konsumsi adalah penting dan hanya para ahli
ekonomi yang mempertunjukkan kemampuannya untuk memahami dan menjelaskan
prinsip produksi dan konsumsi.
Islam tidak mengakui kegemaran
materialistis semata-mata dan pola konsumsi modern. Islam berusaha menurangi
kebutuhan material manusia yang luar biasa sekarang ini. Untuk menghasilkan
energy manusia akan selalu mengejar cita-cita spiritualnya. Menurut mannan
bahwa perintah Islam mengenai konsumsi dikendalikan oleh lima prinsip[2],
yaitu:
- Prinsip
Keadilan
- Prinsip
Kebersihan
- Prinsip
Kesederhanaan
- Prinsip
Kemurahan Hati
- Prinsip
Moralitas.
Lebih
lanjut , Mannan menjelaskan bahwa aturan pertama mengenai konsumsi terdapat
dalam ayat suci al-Qur’an yang artinya
“
Hai orang-orang yang berima, makanlah yang halal lagi baik dari apanyang
terdapat terdapat di bumi dan jnganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan,
karena sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 168)
Syarat yang mengandung arti ganda,
baik mengenai mencari rezeki secara halal dan yang dilarang menurut hokum.
Syara kedua tercantum dalam kitab suci al-Qur’an naupun as-Sunnah, yaitu
makanan harus baik atau cocok untuk dimakan, tidak kotor ataupun menjijikkan
sehingga merusak selera. Syarat ketiga yang mengatur prilaku manusia mengenai
makanan dan minuman adalah sikap tidak
berlebihan yang berate janganlah makan secara berlebihan. Arti penting ayat ini
adalah kenyataan bahwa kurang makan dapat mempengaruhi pembangunan jiwa dan
tubuh, demikian pula bila perut diisi secara berlebihan tentu aka nada pengaruhnya
pada pencernaan. Praktek memantangkan jenis makan tertentu dengan tegas tidak
dibolehkan dalam islam. Syarat keempat adalah kemurahan hati; dengan
berpegangan dan menaati syariat islam dan tidak ada bahaya maupun dosa ketika
makan-makanan dan minuman yang halal yang disediakan Allah karena kemurahannya.
Tujuan akhir dari makan dan minum adalah untuk meningkatkan kemajuan
nilai-nilai moral dan spiritual . prinsip ini didasarkan pada kaidal al-Quran,
bahwa sementara orang mungkin merasakan sedikit kenikmatan atau keuntungan
dengan minum-minuman keras dan makanan terlarang lainnya, tetapi hal itu
dilarang karena adanya bahaya yang mungkin ditimbulkannya lebih besar daripada
kenikmatan atau keuntungan yang mungkin diperbolehkannya.
Konsumsi pada hakikatnya adalah mengeluarkan sesuatu
dalam rangka memenuhi kebutuhan. Konsumsi meliputi keperluan, kesenangan dan
kemewahan. Kesenangan atau keindahan diperbolehkan asal tidak berlebihan, yaitu
tidak melampaui batas yang dibutuhkan oleh tubuh dan tidakpula melampaui
batas-batas makanan yang dihalalkan Yang terkandung dalam QS al-A’raf:
Konsumen muslim tidak akan melakukan permintaan
terhadap barang sama banayak dengan pendapatan, sehingga pendapatan habis.
Krena mereka mempunyai kebutuhan janglka pendek (dunia) kebutuhan jangka
panjang (akhirat).
(Matan lain: Nasa’I 2512, ibnu majah 3595)
Ini berarti permintaan harus dihentikan setelah
kebutuhan akhirat harus dibayarkan, yaitu zakat. Dala lmu ekonomi konvensional,
konsumsi agregat terdiri dari konsumsi barang kebutuha dasar (Cn) serta
konsumsi barang mewah (c1) dan dapat mempengaruhi konsumsi adalah tingkat harga
dan pendapatan. Dalam islam tingkat harga saja tidak cukup untuk mengurangi
konsumsi barang mewah, tetapi dibutuhkan factor
moral dan social, diantaramnya adalah kewajiban membayar zakat.
Ajaran islam sebenarnya bertujuan untuk meningkatkan
ummat manusia agar membellanjakan harta sesuai kemampuanya. Pengeluaran tidak
seharusnya melebihi pendapatan dan juga tidak menekan ppengeluaran terlalu
rendah sehingga mengarah pada kebakhilan. Manusia sebaiknya bersifat moderat
dalam pengeluaran. Sehingga tidak mengurangi sirkulasi kekayaan dan juga tidak
melemahkan kekuatan ekonomi masyaerakat akibat pemborosan.
1. Prinsip konsumsi menurut perfektif islam
a.
Halal
b.
Baik /
bergizi
c.
Makan dan
minum secukupnya
d.
Tidak
mengandung riba, tidak kotor/najis dan tidakl menjijikan
e.
Bukan
hasil suap
2. Sasaran konsumsi
a.
Konsumsi
untuk diri sendiri
b.
Konsumsi
sebagai tanggung jawab social.
C.
MASLAHAH DALAM KONSUMSI
Maslahah memiliki kandungan yang
terdiri dari manfaat dan berkah. Demikian pula dengan perilaku konsumsi,
seorang konsumen akan mempertimbangkan manfaat dan berkah yang dihasilkan dari
kegiatan konsumsinya. Konsumen mearasakan adanya manfaat suatu kegiatan
konsumsi ketika ia mnedapatkan pemenuhan kebutuhan fisik atau psikis atau
material. Disisi lain, berkah akan diperolehnya ketika ia mengonsumsi yang
halal saja merupakan dihalalkan oleh syariat Islam. Mengonsumsi yang halal saja
merupakan kepatuhan kepada Allah, karenanya memperoleh pahala. Pahala inilah
yang kemudian dirasakan sebagai berkah dari barang/jasa yang telah dikonsumsi.
Sebaliknya, konsumen tidak akan mengonsumsi barang/jasa yang haram karena tidak
mendatangkan berkah. Mengonsumsi yang haram akan menimbulkan dosa yang pada
akhirnya akan berujung pada siksa Allah. Jadi mengonsumsi yang haram justru
memberikan berkah negative. Konsumsi dirasakan kemaslahahannya jika dilihat
dari beberapa segi[3],
yaitu:
- Kebutuhan
dan Keinginan
Bila masyarakat menghendaki lebih banyak akan suatu
barang atau jasa, maka hal ini akan tercermin pada kenaikkan permintaan akan
barang/jasa tersebut. Kehendak seseorang untuk membeli atau memiliki suatu
barang/jasa bias muncul karena factor kebutuhan ataupun factor keinginan.
Kebutuhan ini terkait dengan segala sesuatu yang harus dipenuhi agar suatu
barang berfungsi secara sempurna.
Disisi lain, keinginan adalah ataupun harapan seseorang jika dipenuhi belum
tentu akan meningkatkan kesempurnaan fungfungsi manusia ataupu suatu barang.
Secara umum, pemenuhan terhadap kebutuhan akan memberikan tambahan manfaat
fisik, spiritual, intelektual ataupun material, sedangkan pemenuhan keinginan
akan menambah kepuasan atau manfaat psikis di samping manfaat lainnya. Jika
suatu kebutuhan diinginkan oleh seseorang, maka pemenuhan kebutuhan tersebut
akan melahirkan mashlahah sekaligus kepuasan, namun jika pemenuhan kebutuhan
tidak dilandasi oleh keinginan, maka hanya akan memberikan manfaat semata.
Secara umum dapat dibedakan antara kebutuhan dan keinginan sebagaimana dalam
table berikut:
KARAKTERISTIK
|
KEINGINAN
|
KEBUTUHAN
|
Sumber
|
Hasrat ( nafsu ) manusia
|
Fitrah manusia
|
Hasil
|
Kepuasan
|
Manfaat & berkah
|
Ukuran
|
Preferensi atau selera
|
Fungsi
|
Sifat
|
Subjektif
|
Objektif
|
Tuntunan Islam
|
Dibatasi/dikendalikan
|
Dipenuhi
|
Ajaran
islam tidak melarang manusia untuk memenuhi kebutuhan ataupun keinginannya,
selama dengan pemenuhan tersebut, maka martabat manusia bias meningkat. Semua
yang ada di bumi ini diciptakan untuk kepentingan manusia, namun manusia
diperintahkan untuk mengkonsumsi barang/jasa yang halal dan baik saja secara
wajar, tidak berlebihan. Pemenuhan kebutuhan ataupu keinginan tetap dibolehkan
selama hal itu mampu menambah mashlahah atau tidak mendatangkan mudharat.
- Mashlahah
dan Kepuasan
Jika
dilihat kandungan mashlahah dari suatu barang/jasa yang terdiri dari manfaat
dan berkah, maka di sini seolah tampak bahwa manfaat dan kepuasan adalah
identik. Kepuasan adalah sutu akibat dari terpenuhinya suatu keinginan,
sedangkan mashlahah merupakan suatu akibat atas terpenuhinya suatu keinginan,
sedangkan mashlahah merupakan suatu kebutuhan juga akan memberikan kepuasan
terutama jika kebutuhan tersebut didasari dan diinginkan. Kepuasan bersifat
individualis, mashlahah tidak hanya bias diraskan oleh individu. Mashlahah bias
jadi diarasakan oleh selain konsumen, yaitu dirasakan oleh sekelompok
masyarakat.
- Mashlahah
dan nilai-nilai Ekonomi Islam
Perekonomian
islam akan terwujud jika prinsip dan nilai-nilai islam diterapkan secara
bersama-sama. Pengabdian terhadap salah satunya akan membuat perekonomian
pincang. Penerapan prinsip ekonomi yang tanpa diikuti oleh pelaksanaan
nilai-nilai islam hanya akan memberikan manfaat ( mashlahah duniawi ),
sedangkan pelaksanaan sekaligus prinsip dan nilai akan melahirkan manfaat dan
berkah atau mashlahah dunia akhirat.
- Penentuan
dan Pengukuran Mashlahah bagi Konsumen
Besarnya
berkah yang diperoleh berkaitan langsung dengan frekuensi kegiatan konsumsi
yang dilakukan. Semakin tinggi frekuensi kegiatan yang ber-mashlahah, maka
semakin besar pula berkah yang akan diterima oleh pelaku konsumsi. Dalam
al-qur’an, Allah menjelaskan bahwa setiap amal perbuatan ( kebaikan maupun
keburukan ) akan dibalas dengan imbalan ( pahala maupun siksa ) yang setimpal
meskipun amal perbuatan itu sangatlah kecil bahkan sebesar biji sawi. Dengan
demikian, mashlahah ditafsirkan bahwa mashlahah yang diterima akan meupakan
perkalian antara pahala dan frekuensi kegiatan tersebut. Demikian pula dalam
hal konsumsi, besarnya berkah yang diterima oleh konsumen tergantung frekuensi
konsumsinya. Semakin banyak barang/jasa halal-thayyib yang dikonsumsi, maka
akan semakin besar pula barkah yang akan diterima.
a. FORMULASI MASLAHAH
Sebagaimana
yang telah diuraikan diatas bahwa mashlahah terkandung unsure manfaat dan
berkah. Hal ini bias dituliskan sebagai berikut:
M = F + B
KET:
M = Mashlahah
F = Manfaat
B = Berkah
Dari
formulasi di atas dapat ditunjukkan bahwa ketika pahala suatu kegiatan tidak
ada, maka mashlahah yang akan diperoleh konsumen adalah hanya sebatas manfaat
yang diraskan di dunia. Demikain pula sebaliknya, jika suatu kegiatan yang
sudah tidak memberikan manfaat ( di dunia ), maka nilai keberkahannya juga
menjadi tidak ada sehingga mashlahah dari kegiatan tersebut juga tidak ada.
b. PENGUKURAN MASHLAHAH KONSUMEN
Untuk
mengeksplorasi konsep mashlahah konsumen secara mendetail, maka konsumsi
dibedakan menjadi dua, yaitu konsumsi yang ditujukan untuk ibadah dan konsumsi
untuk memenuhi kebutuhan/keinginan manusia semata.
Konsumsi
ibadah pada dasarnya adalah segala konsumsi atau menggunakan harta di jalan
Allah. Islam memberikan imbalan terhadap belanja ( konsumsi ) ibadah dengan
pahala yang sangat besar. Konsumsi ibadah ini meliputi belanja untuk
kepentingan jihad, pembangunan sekolah, rumah sakit, usaha penyelidikan ilmiah
dan amal kebaikan lain.
Besarnya
berkah yang diterima berkaitan dengan besarnya pahala dan mashlahah yang
ditimbulkan. Nabi pernha mengatakan bahwa amal sedekah yang membutuhkan kepada
orang lain yang lebih membutuhkan. Hadis ini menunjukkan bahwa besarnya manfaat
atas suatu amalan akan menambah pahala dan berkah yang diterimanya. Ketika
kegiatan duniawi diniatkan untuk beribadah, maka di samping kegiatan itu akan
memberikan manfaat bahkan juga akan memberikan berkah bagi pelakunya.
c. KARAKTERISTIK MANFAAT DAN BERKAH DALAM
KONSUMEN
Ketika
konsumen membeli suatu barang/jasa, maka ia akan mendapatkan kepuasan den/atau
mashlahah. Kepuasan akan diperoleh jika ia berhasil memenuhi keinginanya dan keinginan
ini bias terwujud kebutuhan taupun sekadar kebutuhan semu. Kebutuhan semu ini
munculm karena ketidaktahuan manusia tentang kebutuhan hidup manusia yang
sesungguhnya.
Disisi
lain, mashlahah dalam konsumen muncul ketika kebutuhan riil terpenuhi, yang
belum tentu dapat dirasakan sesaat setelah melakukan konsumsi.
Kerangka
secara garis besar mengenai kapan konsumen akan mendapatkan mashlahah dan
berkah[4].
Demikian pula kemungkinan lahirnya mudharat karena adanya kegiatan konsumsi
terhadap hal yang sia-sia atau tidak memberikan mafaat maupun hal-hal yang
diharamkan.
KEBERADAAN MASHLAHAH DALAM KONSUMSI
|
|
|
|
|
|
|
|||||||||||||||||||
|
|||||||||||||||||||||
|
|||||||||||||||||||||
|
|||||||||||||||||||||
|
|||||||||||||||||||||
1) Manfaat Material yaitu berupa
diperolehnya tambahan harta bagi konsumen akibat pembelian suatu barang/jasa.
Manfaat material ini bias berbentuk murahnya harga, discount, murahnya biaya
transportasi dan searching; dan semacamnya. Larisnya pakaian dan sepatu obral
menunjukkan dominannya manfaat materiil yang diharapkan oleh konsumen.
2) Manfaat fisik dan psikis, yaitu beripa
terpenuhinya kebutuhan fisik atau psikis manusia, seperti rasa lapar, haus,
kedinginan, kesehatan, keamanan, kenyamanan, harga diri dan sebagainya. Mulai
berkembangnya permintaan rokok kadar rendah nikotin, kopi kadar rendah kafein
menunjukkan adanya manfaat fisik-kesehatan- pada rokok dan kopi.
3) Manfaat intelektual yaitu berupa
terpenuhinya kebutuhan akal manusia ketika ia membeli suatu barang atau jasa,
seperti kebutuhan tentang informasi, pengetahuan, keterampilan, dan semacamnya.
Contoh: permintaan surat kabar, alat ukur suhu, timbangan, dan sebagainya.
4) Manfaat terhadap lingkungan ( intra
generation ) yaitu berupa adanya eksternalitas positif dari pembelian suatu
barang/jasa atau manfaat yang bias diraskan oleh selain pembeli pada generasi
yang sama.
5) Manfaat jangka panjang yaitu
terpenuhinya kebutuhan duniawi jangka panjang atau terjaganya generasi masa
mendatang terhadap kerugian akibat dari tidak membeli suatu barang/jasa.
Pembelian bahan bakar biologis ( bio-gas ), misalnya akan memberikan manfaat
jangka panjang berupa bersihnya lingkungan meskipun dalam jangka pendek
konsumen harus membayar dengan harga lebih mahal.
Disamping
itu, kegiatan konsumsi terhadap barang/jasa yang halal dan bermanfaat akan
memberikan berkah bagi konsumen. Berkah ini akan hadir jika seluruh hal berikut
ini dilakukan dalam konsumsi[5]:
a. Barang/jasa yang dikonsumsi bukan
merupakan barang haram. Barang/jasa yang diharamkan oleh Islam tidaklah banyak,
yaitu babi, darah, bangkai, binatang yang dibunuh atas nama selain Allah atau
dipukul, perjudian, riba, zina, dan barang-barang yang najis atau merusak.
b. Tidak berlebih-lebihan dalam jumlah
konsumsi
c. Diniatkan untuk mendapatkan ridha Allah
D. HUKUM UTILITAS DAN MASHLAHAH
Untuk mengetahui bagaimana perilaku
konsumen terhadap mashlahah akan dipaparkan terlebih konsumen[6].
1)
Hukum
Penurunan Utilitas Marginal
Dalam ilmu ekonomi konvensional dikenal adanya hokum
mengenai penurunan utilitas marginal ( law of diminishing marginal utility ).
Hokum ini mengatakan bahwa jiaka seseorang mengonsumsi suatu barang dengan
frekuensi yang diulang-ulang, maka nilai tambahan kepuasan dari konsumsi
berikutnya akan semakin menurun. Pengertian konsumsi di sini bias dimaknai
mengonsumsi apa saja termasuk mengonsumsi waktu luang. Hal ini berlaku juga
untuk setiap kegiatan yang dilakukan seseorang.
Utilitas marjinal ( MU ) adalah tambahan kepuasan
yang diperoleh konsumen akibat adanya peningkatan jumlah barang/jasa yang
dikonsumsi.
2)
Hukum
Mengenai Mashlahah
Hukum mengenai penurunan utilitas
marginal tidak selamanya baerlaku pada mashlahah. Mashlahah dalam konsumsi
tidak seluruhnya secara langsung dapat diraskan, terutama mashlahah akhirat
atau berkah. Adapun mashlahah dunia manfaatnya sudah bias diraskan setalah
konsumsi. Dalam hal berkah, dengan meningkatnya frekuensi kegiatan, maka tidak
aka nada penurunan berkah karena pahala yang diberikan atas ibadah mahdhah
tidak pernah menurun.
Sedangkan mashlahah dunia akan
meningkat dengan meningkatnya frekuensi kegiatan, namun pada level tertentu
akan mengalami penurunan. Hal ini dikarenakan tingkat kebutuhan manusia di dunia
adalah terbatas sehingga ketika konsumsi dilakukan secara berlebih-lebihan,
maka akan terjadi penurunan mashlahah duniawi. Dengan demikian, kehadiran
mashlahah akan member “ warna “ dari kegiatan yang dilakukan oleh konsumen
mukmin.
a. Mashlahah Marginal dari Ibadah Mahdhah
Mashlahah marginal ( MM ) adalah
perubahan mashlahah, baik berupa manfaat ataupun berkah, sebagai akibat
berubahnya jumllah barang yang dikonsumsi. Dalam hal ini ibadah mahdhah, jika
pahala yang dijanjikan Allah adalah konstan, maka pelaku ibadah tidak akan
mendapatkan manfaat duniawi, namun hanya berharap adanya pahala. Berdasarkan
pemaparan yang disebut di muka pada bagian utilitas, maka denngan ini abis
dikatakan bahwa seorang konsumen mukmin tidak akan mengalami kebosanan dalam
melakukan ibadah mahdhah. Ini terlihat dari nilai mashlahah marginal dari
kegiatan ini yang konstan tidak mengalami penurunan seperti halnya pada kasus
utilitas.
b. Maslahah Marginal dari Konsumsi
Menurut islam melakukan suatu kegiatan konsumsi akan
bias menimbulkan dosa ataupun pahala tergantung niat, proses, dan produk yang
dikonsumsi. Dengan adanya aspek ibadah
dalam konsumsi, maka kegiatan tersebut akan dirasakan mendatangkan berkahnya.
Hal ini dapat dideteksi dari adanya pahala yang muncul sebagai akibat dari
kegiatan tersebut.
3)
Hukum
Penguatan Kegiatan dari Mashlahah
Secara
lebih spesifik bias dikatakan bahwa seandainya tidak ada kandungan berkah dalam
kegiatan, maka konsumen sudah akan mengalami kejenuhan pada frekuensi kedelapan
dalam melakukankegiatan tersebut. Dengan kehadiran berkah yang dirasakan oleh
konsumen akan memperpanjang rentang preferensi dalam melakukan kegiatan
tersebut.
Lemma a[7]
Lemma b[8]
E. KESEIMBANGAN KONSUMEN
Keterkaitan antara barangang satu dengan barang yang
lain.
1. Keterkaitan Antarbarang[9]
a. Komplemen
Bentuk hubungan antara dua buah barang dalam konteks
ini bias dilihat ketika seorang konsumen mengonsumsi suatu barang, misalnya
barang A, maka dia mempunyai kemungkinan untuk mengonsumsi barang yang lain,
barang B.
-
Komplementaritas
Sempurna
Tingkat komplementaritas sempurna terjadi jika
konsumsi dari suatu barang mengharuskan ( tidak bisa tidak ) konsumen untuk
mengonsumsi barang yang lain sebagai penyerta dari barang pertama yang
dikonsumsi. Contoh: konsumsi mobil pasti harus disertai dengan konsumsi bensin.
Konsumsi tinta printer pasti harus disertai dengan konsumsi kertas.
-
Komplementaritas
Dekat
Komplementaritas dekat bisa digambarkan jika
seseorang mengonsumsi suatu barang maka dia mempunyai kemungkinan yang besar
untuk mengonsumsi barang yang lain. Contoh: Penggunaan sepatu oleh seseorang
maka dia mempunyai kemungkinan besar dia akan menggunakan kaos kaki. Seseorang
mengonsumsi teh makan mempunyai kemungkinan besar dia juga mengonsumsi gula.
-
Komplementaritas
Jauh
Tingkat komplementaritas yang jauh disebabkan karena
hubungan antara kedua barang adalah rendah. Contoh: baju dengan penggunaan
dasi. Penggunaan baju dengan parfum. Disini jelas terlihat bahwa tingkat
kebersamaan dalam penggunaan antara barang yang satu dengan yang lain lebih
tidak pasti lagi jika disbanding dengan kasus-kasus sebelumnya
b. Substitusi
Dalam substitusi hubungan antar barng bersifat
negative. Hubungan yang negative adalah jika jumlah konsumsi barang yang satu
naik, maka jumlah konsumsi barang lainnya akan turun. Hubungan negative
ini terjadi karena adanya penggantian
antara barang yang satu dengan barang yang lain. Contoh: minyak tanah dengan
gas.
-
Substitusi
Sempurna
Hubungan antara dua buah barang dikatakan substitusi
sempurna jika nggunaan dua buah barang tersebut bisa ditukar satu sama lainnya
tanpa mengurangi sedikit punkepuasan konsumen dalam menggunakannnya. Contoh:
konsumsi terhadap gula. Konsumen tidak pernah mempermasalahkan asal muasal
pabrik gula yang dipakai, apakah gula local atau gula impor, apakah produksi
pabrik di jawa atau di luar jawa, konsumen tidak pernah mempermasalahkannya
karena mereka tidak bisa merasakan perbedaan dalam hal kepuasan yang mereka
dapat dari penggunaan gula-gula ini.
-
Substitusi
Dekat
Dua barang bisa dikatakan sebagai barang substitusi
dekat jika fungsi kedua barang tersebut mampu menggantikan satu sama lain.
Namun demikian, penggantian satu terhadap yang lainnya di sini menimbulkan
perbedaan kepuasan yang mereka peroleh. Contoh: seorang perokok yang telah menyukai
merek tertentu, ia akan selalu merokok dari merek pilihannya tersebut. Dia pada
suatu saat tertentu bisa mengganti rokok yang diisapnya dengan rokok merek
lain. Namun, pergantian ini akan jelas menimbulkan turunnya kepuasan yang dia
terima dari merokok merek lain inin.
-
Substitusi
Jauh
Dua buah barang bisa dikatakan sebagai barang
substitusi jauh jika dalam penggunaannya konsumen bisa mengganti satu barang
dengan barang lainnya hanya dalam keadaan terpaksa saja. Dalam keadaan normal
konsumen yang bersangkutan tidak akan mengganti barang yang dikonsumsinya
dengan barang lainnya. Contoh: nasi dan roti. Meskipun roti bisa mengganti
nasin, namun bagi kebanyakan orang Indonesia, mereka tidak akan makan roti
sebagai menu utamanya sepanjang masih ada nasi.
c. Domain Konsumsi
Melihat ungan antar barang-baran
diatas, maka hubungan yang relevan dengan pilihan konsumen di sini adalah
hubungan yang kedua, substitusi. Hal ini dikarenakan dua buah barang yang
sifatnya saling mengganti, maka akan menimbulkan pilihan, yang kadang
menyulitkan bagi konsumen. Sementara kalau dua buah barang yanga sifatnya
komplementari, maka tidak akan menimbulkan pilihan bagi konsumen karena barang
penyertanya sudah merupakan konsekuensi lanjutan dari konsumsi barang utamanya.
Untuk itu, dalam konteks pilihan konsumen maka jenis hubungan yang akan
dieksplorasi di sini adalah hubungan yang sifatnya substitusi meskipun hubungan
yang komplementari juga akan tetap ditampilkan.
2. Hubungan Antarbarang yang dilarang oleh
Islam
Meskipun jenis hubungan yang akan dieksplorasi di
sini adalah hubungan yang sifatnya saling mengganti namun perlu ditentuka
domain dari pembahasan substitusi ini. Hokum islam metegaskan tidak
dimungkinkan adanya substitusi antara barang haram dan barang halal, kecuali
dalam keadaan darurat.
Lemma c[10]
Hubungan Substitusi yang mustahil dalam
islam
40
30
haram
20
10
0
1 2 3 4
Halal
Lemma d[11]
Hubungan Komplementer
yang Mustahil dalam Islam
Haram
25
20
15
10
5
0
1 2 3 4 5 6
Halal
3. Hubungan Antarbarang dalam Islam
Melihat kedua pemaparan tentang hubungan dua buah
barang halal dan haram diatas,maka dirasa perlu untuk menampilkan hubungan
kedua buah barang di atas sebagai pedoman dalam berprilaku.
Haram
0 5 10
Halal
Grafik
diatas merupakan sebuah garis yang berimpit dengan sumbu horizontal. Untuk
menunjukkan bahwa garis ini berimpitan dengan sumbu horizontal, maka horizontal
dicetak tebal. Penafsirannya adalah berapapun jumlah barang halal yang
dikonsumsi, maka jumlag barang haran yang dikonsumsi adalah tetap. Maknanya,
barang haram tidak pernah dikonsumsi dalam situasi yang bagaimanapun. Maka domain dari konsumsi dalam islam adalah
terbatas pada barang/kegiatan yang halal saja. Sehingga komplemen dan
substitusti yang terjadi hanyalah untuk barang/kegiatan halal yang lain.
Hubungan Komplementer dalam islam
Halal
Halal
Hubungan
dari grafik tersebut menggambarkan adanya komplementaritas antara dua barang
tersebut. Hal ini tidak menjadi masalah karena kedua barangnya sama halal.
Garis yang berupa titik diatas menggambarkan adanya hubungan komplementaritas
sempurna antar dua barang yang halal yang menhasilkan tingkat mashlahah sama.
Semakin tinggi kombinasi tersebut semakin besar pula mashlahah yan diperoleh.
Hubungan Substitusi Antarbarang Halal
Halal
Halal
Kurva diatas mencermin tingkat mashlahah yang sama
atas kombinasi dua barang yang halal. Kurva yang semakin di atas menunjukkan
ke- mashlahah-an yang lebih tinggi.
4. Permintaan Konsumen
Dengan
membandingkan antardua barang halal substitusi, maka seorang konsumen mukmin
dalam memilih barang yang dikonsumsikannya akan mempertimbangkan jumlah
mashlahah intuitif dapat disimpulkan
bahwa jika terdapat peningkatan mashlahah pada suatu barang/jasa, maka
permintaan akan barang tersebut akan meningkat, dengan menganggap lainnya tidak
berubah.
Jika
terdapat kenaikan harga suatu barang, maka konsumen merasakan adanya penurunan
manfaat material dari barang tersebut, yaitu berupa berkurangnya materi atau
pendapatan jika konsumen tersebut
tetap membeli barang/jasa dalam jumlah yang sama. Oleh karena itu konsumen akan
mengurangi tingkat pembelian barang/jasanya untuk tetap mempertahankan
mashlahah yang ia terima. Hal ini akan dilakukan selama tidak ada perubahan
pada mashlahah lainnya, baik manfaat fisik maupun berkahnya.
Di sisi
lain, jika kenaikkan harga suatu barang diikuti oleh perubahan mashlahah
lainnya, misalnya kenaikkan manfaat fisik atau psikis barang tersebut ataupun
keberkahan atas barang tersebut, maka konsumen belum tentu akan mengurangi
jumlah konsumsinya, melainkan setelah ia mempertimbangkan agar mashlahah total
yang ia peroleh tetap maksimal.
F
. FUNGSI KESEJAHTERAAN MENURUT MAXIMIZE, DAN UTILITAN OLEH IMAM
AL-GHAZALI
Menurut Ulama Besar,
Imam Al-ghazali ada tiga pemikirnya tentang kesejahteraan yaitu konsep
maslahat, kesejahteraan social(utilitas), merupakan sebuah konsep yang mencakup
semua urusan manusia, baik urusan ekonomi maupun urusan lainya, dan yang
membuat kaitan yang erat anatar individu dengan masyarakat. Dalam meningkatkan
kesejahteraan social, imam Al-Gahazali mengelompokan dan mengidentifikasi semua
masalah baik yang berupa masalih (utilitas,manfaat) maupun mafsaid
(disutilitas, kerusakan) dalam meningkatkan kesejahteraan social[12].
Menurut
Al-ghazali, kesejahteraan (maslahah) dari suatu masyarakaat tergantung kepada
pencarian dan pemeliharaan lima tujuan dasar : (1) Agama, (2) Hidup/jiwa, (3)
keluarga, (4) harta/kekayaaan. Dan (5) akal. Ia menitik beratkan bahwa sesuai
tuntunan wahyu, kebaikan dunia akhirat serta dengan niat untuk beribadah kepada
Allah (maslahat al-din wa al-dunya)sebagai tujuan akhir manusia.
Walaupun
keselamatan merupaakan tujuan akhir, Al-Ghazali tidak ingin bila pencarian
keselamatan ini smapai mengabaikan kewajiban-kewajiban duniawi seseorang.
Bahkan pencaharian kegiatan-kegiatan ekonomi bukan saja diinginkan, tetapi
merupakan keharusan bila ingin mencapai keselamatan.
Al-ghazali
juga mengidentifikasi tiga alasan mengapa seseorang harus melakukan kegiatan
ekonomi[13]:
1.
Mencukupi
kebutuhan hidup yang bersangkutan
2.
Mensejahterakan
keluarga
3.
Membantu
orang lain yang membutuhkan.
1. Fungsi Utility
Dalam
ilmu ekonomi tingkat kepuasan (utility fungction) digambarkan oleh kurva
indeferent (indifference kurve). Biasanya yang digambarkan adalah utility
function antara dua barang (atau jasa) yang keduanya memang disukai konsumen.
Dalam
membangun teori utility function, digunakan tiga aksioma pilihan rasional.
1.
Completeness
Aksioma ini mengatakan bahwa
setiap individu selalu dapat menentukan keadaaan mana yang lebih disukainya
diantara dua keadaan. Bila A dan B adalah dua keadaan yang berbeda, maka
individu selalu dapat menentukan secara tepat satu diantara tiga kemungkinan
ini:
·
A lebih
disukai dari pada B
·
B lebih
disukai dari pada A
·
A dab B
sama menariknya
2.
Transitivity
Aksioma ini menjelasskan bahwa jika seorang individu mengatakan “A
lebih disukai dari pada B,” dan “ B lebih disukai daripada C,” maka ia pasti
akan mengatakan bahwa “A lebih disukai dari pada C” Aksioma ini sebenernya
untuk memastikan adanya konsisten internal didalam diri individu dalam
mengambil keputusan.
3.
Continuity
Aksioma ini menjelskan bahwa setiap individu mengatakan “ A lebih
disuklai dari pada B, maka Keadaan yang mendekati A pasti juga lebih disukai
dari pada B.
Ketiga Kosumsi ini
dapat kita terjemahkan kedalam bentuk geometris yang selanjutnya lebih sering
kita kenal dengan kurva indeverent.
Barang Y
D
E
A
U1
B
C U2
Barang
X
Dari gamabar diatas menunjukan bahwa titik A, B, dan C berada pada
tingkat indefference curve yang sama sehingga tingkat kepuasan pada titik A
sama dengan tingkat kepuasan pada titik B atau C yaitu pada U1, sedangkan titik
D dan E memberikan tingkat kepuasan yang sama yaitu pada U2.
G.
BARANG HALAL, HARAM, DAN ANALISIS KURVA INDIFFERENCE
Kesejahteraan kosumen akan meningkat jika ia
mengkonsumsi lebih banyak barang yang bermanfaat, halal dan mengurangi
mengkonsumsi baraang yang haram. Dalam islam sudah jelas dan cukup rinci
mengklasifikasikan mana baraang yang halal dan mana barang yang haram. Islam
juga melarang untuk menghalalkan apa yang sudah ditetapkan haram dan
mengharamkan apa-apa yang sudah menjadi halal.
“hai
orang-orang yang beriaman, janganlah kamu mengharamkan apa-apa yang baik yang
telah Allah Halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Dan
makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan
kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman keppada-Nya” (Qs. Al-
Maidah ;87-88)
Untuk
menerangkan bagaimana kurva indifference dibentuk dari berbagaai komoditass
yang telah memisahkan antaraa yang ahalaa-dan haram.= dari komoditas dapat kita
lihat pada gambar dibawah ini:
X halal (MUx >0) X
halal (MUx >0)
X halal (MUx <0) X halal (MUx >0)
X
halal (MUx >0)
X
halal (MUx >0) y
halal (MUx >0)
X
halal (MUx 0)
BAB
III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Pengertian konsumsi secara umum adalah pemakaian dan
penggunaan barang-barang dan jasa. Tujuan
konsumsi dalam islam adalah untuk mewujudkan maslahah duniawi dan ukhrawi.
Maslahah duniawi ialah terpenuhinya kebutuhan dasar manusia, seperti makanan,
minuman, pakaian, perumahan, kesehatan,pendidikan ( akal ). Kemaslahatan
akhirat ialah terlaksananya kewajiban agama seperti shalat dan haji. Artinya
manusia makan dan minum agar bias
beribadah kepada Allah.
“ Hai orang-orang yang berima, makanlah yang halal
lagi baik dari apanyang terdapat terdapat di bumi dan jnganlah kamu mengikuti
langkah-langkah setan, karena sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu.”
(QS. Al-Baqarah: 168)
Berbeda dengan system lainnya, Islam mengajarkan
pola konsumsi yang moderat, tidak berlebihan tidak juga keterlaluan, lebih
lanjut al-Qur’an melarang terjadinya perbuatan tabzir dan mubazir.
Menurut mannan bahwa perintah Islam mengenai
konsumsi dikendalikan oleh lima prinsip, yaitu:
1. Prinsip Keadilan
2. Prinsip Kebersihan
3. Prinsip Kesederhanaan
4. Prinsip Kemurahan Hati
5. Prinsip Moralitas.
Menurut Ulama Besar,
Imam Al-ghazali ada tiga pemikirnya tentang kesejahteraan yaitu konsep
maslahat, kesejahteraan social(utilitas), merupakan sebuah konsep yang mencakup
semua urusan manusia, baik urusan ekonomi maupun urusan lainya, dan yang
membuat kaitan yang erat antara individu dengan masyarakat. Dalam meningkatkan
kesejahteraan social, imam Al-Gahazali mengelompokan dan mengidentifikasi semua
masalah baik yang berupa masalih (utilitas,manfaat) maupun mafsaid
(disutilitas, kerusakan) dalam meningkatkan kesejahteraan social.
B. SARAN
Demi
suksesnya dalam pembuatan makalah ini, saya mengharapkan saran serta kritik
dari para pembaca. Walau bagaimanapun saya merasa bahwa makalah ini belumlah
sempurna dan saran para pembaca tentu akan sangat bermanfaat untuk pembuatan
makalah selanjutnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Nur
Diana, Ilfi. Hadis-hadis Ekonomi.
Malang: UIN Malang Press. 2008
Sudarsono,
Heri. Konsep Ekonomi Islam Suatu
Pengantar. Yogyakarta: Ekonisia. 2007
Muhammmad. Ekonomi Mikro dalam Perspektif Islam. Yogyakarta: BPFE Yogyakarta.
2004/2005
Hidayat, Mohamad. An Introduction To The Sharia Economic
Pengantar Ekonomi Syariah. Jakarta: Zikrul 2010
A. Karim, Adiwarman. Ekonomi Mikro Islam Edisi ketiga. Jakarta: Rajawali Press. 2007
Pusat Pengkajian dan Pengembangan
Ekonomi Islam ( P3EI ) Universitas Islam Indonesia Yogyakarta atas kerjasama
dengan Bank Indonesia. Ekonomi Islam.
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2008
[1] Hidayat, Mohammad. An
introduction the sharia economic Pengantar Ekonomi Syariah. ( Jakarta:
Zikrul, 2010 ), hal 230
[2] Muhammad. Ekonomi Mikro dala
Perspektif Islam. ( Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta, 2004 ) hal 164-165
[3] P3EI UII YOGYAKARTA. Ekonomi
Islam. (Yogyakarta: Rajawali Pers, 2000) hal 130-144
[5] Ibid. hal 144-145
[6] Ibid. hal 145-148
[7] Ibid. hal 157
[8] Ibid
[9] Ibid. hal 160-163
[10] Ibid. hal 163
[12] S.M. Ghazanfar dan Abdul Azim Islahi, Economic Thought of an Arab
Scholastik: abu Hamid al-ghazali.
[13] Ibid, hlm 249,236,mizan,337