REGULASI
ASURANSI SYARIAH DI INDONESIA
Rizka
Cholidah : (107084003699)
Tinjauan Pengaturan Perundang-Undangan Di Bidang
Asuransi Dalam Kaitannya Dengan Asuransi Syariah
1.
Kitab Undang-Undang hukum Perdata
Ketentuan
mengenai kegiatan asuransi dalam KUH perdata, diatur dalam Bab Kelima Belas
tentang Perjanjian untung-untungan, pada bagian kesatu tentang ketentuan umum,
yaitu pada Pasal 1774 KUH perdata. Dalam pasal ini, kegiatan asuransi
diistilahkan dengan pertanggungan. Adapun bunyi ari pasal 1774 KUH Perdata
adalah :
“Suatu
perjanjian untung-untungan adalah suatu perbuatan yang hasilnya, mengenai
untung-ruginya, baik bagi semua pihak, maupun sementara pihak, bergantung pada
suatu kejadian yang belum tentu. Demikian adalah :
Perjanjian
pertanggungan;
Bunga
cagak hidup;
Perjudian
dan pertaruhan.
Perjanjian
yang pertama diatur di dalam kitab Undang-undang Hukum Dagang.”
Jika
dilihat dari pasal tersebut, maka perjanjian pertanggungan dikategorikan dalam
kelompok Perjanjian Untung-untungan.
Untuk
asuransi syariah, Pasal 1774 KUH Perdata tidak dapat dijadikan dasar hukum
karena adanya unsur judi (maisir) yaitu adanya unsur untung-rugi yang
digantungkan pada kejadian yag belum tentu. Asuransi syariah tidak didasarkan
untung-rugi tapi didasarkan konsep tanggung jawab dan tolong menolong.
2.
Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha
Perasuransian
Dari segi positif, hukum saat ini asuransi syariah
masih mendasarkan legalitasnya pada UU. No.2 Tahun 1992 tentang Usaha
Perasuransian yanag sebenarnya kurang mengakomodasi asuransi Islam di Indonesia
karena tidak mengatur mengenai keberadaan asuransi berdasarkan prinsip syariah.
Pasal 1 undang-undang ini menyebutkan definisi asuransi sebagai berikut :
“ Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian
antara dua belah pihak atau lebih; dengan mana pihak penanggung mengikatkan
diri kepada tertanggung dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan
penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan, atau kehilangan
keuntungan yang diharapkan atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang
mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak
pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal
atau hidupnya seorang yang dipertanggungkan”.
Dalam pasal tersebut tampak masih adanya gambaran
perjanjian dua pihak antara penanggung dan tertanggung untuk memberikan
pembayaran atas timbulnya suatu peristiwa yang tidak pasti yang diperjanjikan.
Pengertian peristiwa yang tidak pasti dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 ini hanya memperluas penjabaran mengenai
pengertian “ peristiwa yang tak tentu” dari definisi asuransi yang ada dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD).
3.
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD)
Definisi asuransi dalam KUHD
terdapat dalam Bab Kesembilan tentang asuransi atau pertanggungan umumnya yaitu
pada Pasal 246 yang berbunyi :
”Asuransi atau
pertanggungan adalah suatu perjanjian dimana seseorang penanggung mengikatkan
diri kepada seorang tertanggung dengan menerima suatu premi, untuk memberikan
penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan
keuntungan yang diharapkan yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa
yang tak tentu.”
Dari
definisi tersebut disimpulkan :
a.
Pihak
pertama sebagai pihak yang ditanggung, mengalihkan beban atau risikonya kepada
pihak penanggung.
b.
Pihak
yang ditanggung membeli hak untuk menerima ganti rugi, atau jaminan dari yang
menjualnya yaitu pihak penanggung menerima sejumlah uang yang disebut premi.
c.
Pihak
penanggung mengharapkan keuntungan dari pembelinya, dan dengan keuntungan ini
ia bersedia menanggung kerugian yang mungkin ditimbulkan akibat bahaya-bahaya
yang menjadi pokok pertanggungan
d.
Kerugian
yang timbul harus merupakan suatu hal yang tak terduga-duga, dan merupakan
suatu bahaya yang tidak dapat diharapkan atau dinantikan dengan pasti, dengan
kata lain tidak sengaja.
Dengan melihat asuransi diatas,
maka seperti halnya KUH Perdata, asuransi disini dapat dipersamakan dengan
perjanjian tukar-menukar dengan perjanjian tukar menukar dengan pertimbangan
untung-rugi. Berdasarkan KUHD ini, tertanggung yang memutuskan kontrak sebelum
habis waktunya akan kehilangan seluruh atau sebagian besar premi yang telah
dibayarkan. Hal ini dirasakan sebagai suatu kerugian bagi tertanggung dan di
lain pihak hal ini merupakan keuntungan bagi penanggung.
Dengan kata lain, pengertian
asuransi dalam UU No.2 Tahun 1992 maupun KUHD tidak dapat dijadikan landasan
hukum yang kuat bagi asuransi syariah. Sementara, ketentuan lainnya dalam KUHD
dan undang-undang tersebut yang mengatur tentang teknis pelaksanaan kegiatan
asuransi dalam kaitannya dengan kegiatan administrasi dapat diterapkan dalam
asuransi Islam.
Peraturan
perundang-undangan yang telah dikeluarkan pemerintah berkaitan dengan asuransi
syariah yaitu:
1.
Keputusan Menteri
Keuangan Republik Indonesia Nomor 426/ KMK.06/2003 tentang Perizinan Usaha dan
Kelembagaan Perusa haan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi. Peraturan inilah
yang dapat dijadikan dasar untuk mendirikan asuransi syariah sebagaimana
ketentuan dalam Pasal 3 yang menyebutkan bahwa ”Setiap pihak dapat melakukan
usaha asuransi atau usaha reasuransi berdasarkan prinsip syariah…”
Ketentuan yang berkaitan dengan asuransi syariah tercantum dalam Pasal 3-4
mengenai persyaratan dan tata cara memperoleh izin usaha perusahaan asuransi
danperusahaan reasuransi dengan prinsip syariah, Pasal 32
mengenai pembukaan kantor cabang dengan prinsip syariah dari perusahaan
asuransi dan perusahaan reasuransi konvensional, dan Pasal 33 mengenai
pembukaan kantor cabang dengan prinsip syariah dari perusahaan asuransi dan
perusahaan reasuransi dengan prinsip syariah.
2.
Keputusan Menteri
Keuangan Republik Indonesia Nomor 424/ KMK.06/2003 tentang Kesehatan Keuangan
Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi. Ketentuan yang berkaitan dengan
asuransi syariah tercantum dalam Pasal 15-18 mengenai kekayaan yang
diperkenankan harus dimiliki dan dikuasai oleh perusahaan asuransi dan
perusahaan reasuransi dengan prinsip syariah.
3.
Keputusan
Direktur Jenderal Lembaga Keuangan Nomor Kep. 4499/ LK/2000 tentang Jenis,
Penilaian dan Pembatasan Investasi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan
Reasuransi dengan Sistem Syariah.
4.
Peraturan Pemerintah No. 63 Tahun 1999 tentang
perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan
Usaha Perasuransian.
Pada Ketentuan tentang persyaratan umum perusahaan
perasuransian, yaitu Pasal 7 PP No 63 Tahun 1999 disebutkan bahwa
sekurang-kurangnya 20% dari modal disetor yang dipersyaratkan, harus
ditempatkan dalam bentuk deposito berjangka pada bank umum. Ketentuan ini tidak
dapat begitu saja diterapkan. Untuk asuransi syariah, deposito berjangka yang
digunakan haruslah yang sesuai dengan syariah. Sementara itu, dalam Pasal 13 PP
No. 63 Tahun 1999, investasi perusahaan asuransi dan reasuransi disyaratkan
pada jenis investasi yang aman dan menguntungkan serta memiliki tingkat
likuiditas yang sesuai dengan kewajiban yang harus dipenuhi. Untuk asuransi
syariah, persyaratan investasi tersebut harus ditambah dengan jenis investasi
yang sesuai dengan syariah.
Ditinjau dari segi premi asuransi, asuransi syariah
mempunyai ciri khas yang belum ditampung dalam ketentuan penyelenggaraan usaha.
Pada asuransi syariah, premi yang dibayarkan dibagi menjadi dua bagian yang
jelas porsinya, yaitu tabungan dan derma. Bagian tabungan ini akan tetap
menjadi milik peserta dan pada akhirnya akan dikembalikan pada peserta.
Sedangkan bagian derma dari awal perserikatan sudah diikrarkan untuk tujuan
itu. Adapun hak dari setiap peserta adalah akan menerima derma dari peserta
lainnya sejumlah tertentu apabila suatu musibah menimpa seorang peserta. Selain
itu perlu ditambahkan ketentuan mengenai ketentuan bagi hasil yang diterima
oleh peserta asuransi / tertanggung dari pihak penanggung atas investasi yang
dilakukan.
Muhamad
Ihsan Hadzami (107084003269)
Fatwa
Dewan Syariah Nasional NO:
21/DSN-MUI/X/2001
Tentang
Pedoman Umum Asuransi
Dalam menjalankan usahanya secara syariah,
perusahaan asuransi dan reasuransi syariah hanya menggunakan pedoman yang
dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia yaitu Fatwa
Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No.21 / DSN-MUI / X / 2001
tentang pedoman umum asuransi syariah. Fatwa tersebut di keluarkan karena
regulasi yang ada tidak dapat dijadikan pedoman untuk menjalankan asuransi
secara syariah.
Pertama : Ketentuan Umum Asuransi Syariah
1.
Asuransi
Syariah (Ta’min, Takaful atau Tadhamun) adalah usaha saling melindungi
dan tolong-menolong di antara sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam
bentuk aset dan / atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk
menghadapi resiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah.
2.
Akad
yang sesuai dengan syariah yang dimaksud pada point (1) adalah yang tidak
mengandung gharar (penipuan), maysir (perjudian), riba, zhulm (penganiayaan),
risywah (suap), barang haram dan maksiat.
3.
Akad
tijarah adalah semua bentuk akad yang dilakukan untuk tujuan komersial.
4.
Akad
tabarru’ adalah semua bentuk akad yang dilakukan dengan tujuan kebajikan
dan tolong-menolong, bukan semata untuk tujuan komersial.
5.
Premi
adalah kewajiban peserta Asuransi untuk memberikan sejumlah dana kepada
perusahaan asuransi sesuai dengan kesepakatan dalam akad.
6.
Klaim
adalah hak peserta Asuransi yang wajib diberikan oleh perusahaan asuransi
sesuai dengan kesepakatan dalam akad.
Kedua:
Akad dalam Asuransi Syariah
1.
Akad
yang dilakukan antara peserta dengan perusahaan terdiri atas akad tijarah dan /
atau akad tabarru'.
2.
Akad
tijarah yang dimaksud dalam ayat (1) adalah mudharabah. Sedangkan
akad tabarru’ adalah hibah.
3.
Dalam
akad, sekurang-kurangnya harus disebutkan :
a. hak & kewajiban peserta dan
perusahaan;
b. cara dan waktu pembayaran premi;
c. jenis akad tijarah dan / atau akad
tabarru’ serta syarat-syarat yang disepakati, sesuai dengan jenis asuransi yang
diakadkan.
Ketiga:
Kedudukan Para Pihak dalam Akad Tijarah & Tabarru’
1.
Dalam
akad tijarah (mudharabah), perusahaan bertindak sebagai mudharib
(pengelola) dan peserta bertindak sebagai shahibul mal (pemegang polis);
2.
Dalam
akad tabarru’ (hibah), peserta memberikan hibah yang akan
digunakan untuk menolong peserta lain yang terkena musibah. Sedangkan
perusahaan bertindak sebagai pengelola dana hibah.
Keempat
: Ketentuan dalam Akad Tijarah & Tabarru’
1.
Jenis
akad tijarah dapat diubah menjadi jenis akad tabarru' bila pihak yang tertahan
haknya, dengan rela melepaskan haknya sehingga menggugurkan kewajiban pihak
yang belum menunaikan kewajibannya.
2.
Jenis
akad tabarru' tidak dapat diubah menjadi jenis akad tijarah.
Kelima : Jenis
Asuransi dan Akadnya
1.
Dipandang
dari segi jenis asuransi itu terdiri atas asuransi kerugian dan asuransi jiwa.
2.
Sedangkan
akad bagi kedua jenis asuransi tersebut adalah mudharabah dan hibah.
Keenam
: Premi
1.
Pembayaran
premi didasarkan atas jenis akad tijarah dan jenis akad tabarru'.
2.
Untuk
menentukan besarnya premi perusahaan asuransi syariah dapat menggunakan
rujukan, misalnya tabel mortalita untuk asuransi jiwa dan tabel morbidita untuk
asuransi kesehatan, dengan syarat tidak memasukkan unsur riba dalam
penghitungannya.
3.
Premi
yang berasal dari jenis akad mudharabah dapat diinvestasikan dan hasil
investasinya dibagi-hasilkan kepada peserta.
4.
Premi
yang berasal dari jenis akad tabarru' dapat diinvestasikan.
Ketujuh
: Klaim
1.
Klaim
dibayarkan berdasarkan akad yang disepakati pada awal perjanjian.
2.
Klaim
dapat berbeda dalam jumlah, sesuai dengan premi yang dibayarkan.
3.
Klaim
atas akad tijarah sepenuhnya merupakan hak peserta, dan merupakan
kewajiban perusahaan untuk memenuhinya.
4.
Klaim
atas akad tabarru', merupakan hak peserta dan merupakan kewajiban
perusahaan, sebatas yang disepakati dalam akad.
Kedelapan
: Investasi
1.
Perusahaan
selaku pemegang amanah wajib melakukan investasi dari dana yang terkumpul.
2.
Investasi
wajib dilakukan sesuai dengan syariah.
Kesembilan : Reasuransi
Asuransi
syariah hanya dapat melakukan reasuransi kepada perusahaan reasuransi yang
berlandaskan prinsip syari'ah.
Kesepuluh
: Pengelolaan
1.
Pengelolaan
asuransi syariah hanya boleh dilakukan oleh suatu lembaga yang berfungsi
sebagai pemegang amanah.
2.
Perusahaan
Asuransi Syariah memperoleh bagi hasil dari pengelolaan dana yang terkumpul
atas dasar akad tijarah (mudharabah).
3.
Perusahaan
Asuransi Syariah memperoleh ujrah (fee) dari pengelolaan dana akad tabarru’
(hibah).
Kesebelas : Ketentuan
Tambahan
1.
Implementasi
dari fatwa ini harus selalu dikonsultasikan dan diawasi oleh DPS.
2.
Jika
salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan
di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi
Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
3.
Fatwa
ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari
ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.
Ditetapkan di Jakarta Tanggal : 17 Oktober 2001 Oleh Dewan
Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia
Fatwa Dewan Syariah
Nasional
NO: 53/DSN-MUI/III/2006
Tentang Akad Tabarru Pada Asuransi Syariah
Pertama : Ketentuan Umum
Dalam
Fatwa ini, yang dimaksud dengan:
a. asuransi adalah asuransi jiwa, asuransi
kerugian dan reasuransi syariah;
b. peserta adalah peserta asuransi
(pemegang polis) atau perusahaan asuransi dalam reasuransi syari’ah.
Kedua : Ketentuan Hukum
a. Akad Tabarru’ merupakan akad yang harus
melekat pada semua produk asuransi.
b. Akad Tabarru’ pada asuransi adalah semua
bentuk akad yang dilakukan antar peserta pemegang polis.
Ketiga : Ketentuan Akad
1. Akad Tabarru’ pada asuransi adalah akad
yang dilakukan dalam bentuk hibah dengan tujuan kebajikan dan tolong¬ menolong
antar peserta, bukan untuk tujuan komersial.
2. Dalam akad Tabarru’, harus disebutkan
sekurang-kurangnya:
a. hak & kewajiban masing-masing
peserta secara individu;
b.
hak
& kewajiban antara peserta secara individu dalam akun tabarru’ selaku peserta
dalam arti badan/kelompok;
c.
cara
dan waktu pembayaran premi dan klaim;
d.
syarat-syarat
lain yang disepakati, sesuai dengan jenis asuransi yang diakadkan.
Keempat : Kedudukan Para
Pihak dalam Akad Tabarru’
1. Dalam akad Tabarru’, peserta memberikan
dana hibah yang akan digunakan untuk menolong peserta atau peserta lain yang
tertimpa musibah.
2. Peserta secara individu merupakan pihak
yang berhak menerima dana tabarru’ (mu’amman/mutabarra’ lahu, مؤمّن/متبرَّع
له)
dan secara kolektif selaku penanggung (mu’ammin/mutabarri’- مؤمّن/متبرِّع).
3. Perusahaan asuransi bertindak sebagai
pengelola dana hibah, atas dasar akad Wakalah dari para peserta selain
pengelolaan investasi.
Kelima : Pengelolaan
1. Pembukuan dana Tabarru’ harus terpisah
dari dana lainnya.
2. Hasil investasi dari dana tabarru’
menjadi hak kolektif peserta dan dibukukan dalam akun tabarru’.
3. Dari hasil investasi, perusahaan
asuransi dapat memperoleh bagi hasil berdasarkan akad Mudharabah atau akad
Mudharabah Musytarakah, atau memperoleh ujrah (fee) berdasarkan akad Wakalah
bil Ujrah.
Keenam : Surplus
Underwriting
1. Jika terdapat surplus underwriting atas
dana tabarru’, maka boleh dilakukan beberapa alternatif sebagai berikut:
a. Diperlakukan seluruhnya sebagai dana
cadangan dalam akun tabarru’.
b. Disimpan sebagian sebagai dana cadangan
dan dibagikan sebagian lainnya kepada para peserta yang memenuhi syarat
aktuaria/manajemen risiko.
c. Disimpan sebagian sebagai dana cadangan
dan dapat dibagikan sebagian lainnya kepada perusahaan asuransi dan para
peserta sepanjang disepakati oleh para peserta.
2. Pilihan terhadap salah satu alternatif
tersebut di atas harus disetujui terlebih dahulu oleh peserta dan dituangkan
dalam akad.
Ketujuh
: Defisit Underwriting
1. Jika terjadi defisit underwriting atas
dana tabarru’ (defisit tabarru’), maka perusahaan asuransi wajib menanggulangi
kekurangan tersebut dalam bentuk Qardh (pinjaman).
2. Pengembalian dana qardh kepada
perusahaan asuransi disisihkan dari dana tabarru’.
Kedelapan
: Ketentuan Penutup
1. Jika salah satu pihak tidak menunaikan
kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka
penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syari’ah setelah tidak
tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
2. Fatwa ini berlaku sejak tanggal
ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat
kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.
Ditetapkan di Jakarta Tanggal : 23
Maret 2006 / 23 Shafar 1427 H oleh DEWAN SYARI’AH NASIONAL MAJELIS ULAMA
INDONESIA
Mufqi
Firaldi (107084003501)
FATWA DEWAN SYARI'AH
NASIONAL
NO: 51/DSN-MUI/III/2006 TENTANG AKAD MUDHARABAH MUSYARAKAH PADA ASURANSI
SYARIAH
Pertama
: Ketentuan Umum
Dalam
Fatwa ini, yang dimaksud dengan:
a. asuransi adalah asuransi jiwa, asuransi
kerugian dan reasuransi syariah;
b. peserta adalah peserta asuransi atau
perusahaan asuransi dalam reasuransi.
Kedua : Ketentuan
Hukum
1. Mudharabah Musytarakah boleh dilakukan
oleh perusahaan asuransi, karena merupakan bagian dari hukum Mudharabah.
2. Mudharabah Musytarakah dapat diterapkan
pada produk asuransi syariah yang mengandung unsur tabungan (saving)
maupun non tabungan.
Ketiga : Ketentuan
Akad
1. Akad yang digunakan adalah akad
Mudharabah Musytarakah, yaitu perpaduan dari akad Mudharabah dan akad
Musyarakah.
2. Perusahaan asuransi sebagai mudharib
menyertakan modal atau dananya dalam investasi bersama dana peserta.
3. Modal atau dana perusahaan asuransi dan
dana peserta diinvestasikan secara bersama-sama dalam portofolio.
4. Perusahaan asuransi sebagai mudharib
mengelola investasi dana tersebut.
5. Dalam akad, harus disebutkan
sekurang-kurangnya:
- hak
dan kewajiban peserta dan perusahaan asuransi;
- besaran
nisbah, cara dan waktu pembagian hasil investasi;
- syarat-syarat
lain yang disepakati, sesuai dengan produk asuransi yang diakadkan.
6. Hasil investasi : Pembagian hasil
investasi dapat dilakukan dengan salah satu alternatif sebagai berikut:
Alternatif
I :
- Hasil
investasi dibagi antara perusahaan asuransi (sebagai mudharib) dengan
peserta (sebagai shahibul mal) sesuai dengan nisbah yang disepakati.
- Bagian
hasil investasi sesudah disisihkan untuk perusahaan asuransi (sebagai
mudharib) dibagi antara perusahaan asuransi (sebagai musytarik) dengan
para peserta sesuai dengan porsi modal atau dana masing-masing.
Alternatif
II :
- Hasil
investasi dibagi secara proporsional antara perusahaan asuransi (sebagai
musytarik) dengan peserta berdasarkan porsi modal atau dana
masing-masing.
- Bagian
hasil investasi sesudah disisihkan untuk perusahaan asuransi (sebagai
musytarik) dibagi antara perusahaan asuransi sebagai mudharib dengan
peserta sesuai dengan nisbah yang disepakati.
7.
Apabila
terjadi kerugian maka perusahaan asuransi sebagai musytarik menanggung kerugian
sesuai dengan porsi modal atau dana yang disertakan.
Keempat : Kedudukan Para Pihak dalam Akad Mudharabah Musytarakah
1. Dalam akad ini, perusahaan asuransi
bertindak sebagai mudharib (pengelola) dan sebagai musytarik (investor).
2. Peserta (pemegang polis) dalam produk
saving, bertindak sebagai shahibul mal (investor).
3. Para peserta (pemegang polis) secara
kolektif dalam produk non saving, bertindak sebagai shahibul mal
(investor).
Kelima : Investasi
1. Perusahaan asuransi selaku pemegang
amanah wajib melakukan investasi dari dana yang terkumpul.
2. Investasi wajib dilakukan sesuai dengan
prinsip syariah.
Keenam : Ketentuan
Penutup
1.
Jika
salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan
di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase
Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
2.
Fatwa
ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari
ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana
mestinya.
Ditetapkan di Jakarta Tanggal : 23
Shafar 1427 / 23 Maret 2006 Oleh Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia
FATWA DEWAN SYARI'AH NASIONAL NO: 52/DSN-MUI/III/2006 TENTANG AKAD WAKALAH BIL UJRAH PADA ASURANSI DAN REASURANSI SYARIAH
Pertama
: Ketentuan Umum
Dalam
Fatwa ini, yang dimaksud dengan:
a. Asuransi adalah asuransi jiwa, asuransi
kerugian dan reasuransi syariah;
b. Peserta adalah peserta asuransi
(pemegang polis) atau perusahaan asuransi dalam reasuransi syari’ah.
Kedua : Ketentuan
Hukum
1.
Wakalah
bil Ujrah boleh dilakukan antara perusahaan asuransi dengan peserta.
2.
Wakalah
bil Ujrah adalah pemberian kuasa dari peserta kepada perusahaan asuransi untuk
mengelola dana peserta dengan pemberian ujrah (fee).
3.
Wakalah
bil Ujrah dapat diterapkan pada produk asuransi yang mengandung unsur tabungan
(saving) maupun maupun unsur tabarru' (non-saving).
Ketiga : Ketentuan
Akad
1. Akad yang digunakan adalah akad Wakalah
bil Ujrah.
2. Objek Wakalah bil Ujrah meliputi antara
lain:
- kegiatan
administrasi
- pengelolaan
dana
- pembayaran
klaim
- underwriting
- pengelolaan
portofolio risiko
- pemasaran
- investasi
3.
Dalam
akad Wakalah bil Ujrah, harus disebutkan sekurang-kurangnya:
- hak
dan kewajiban peserta dan perusahaan asuransi;
- besaran,
cara dan waktu pemotongan ujrah fee atas premi;
- syarat-syarat
lain yang disepakati, sesuai dengan jenis asuransi yang diakadkan.
Keempat
: Kedudukan dan Ketentuan Para Pihak dalam Akad Wakalah bil Ujrah
1. Dalam akad ini, perusahaan asuransi
bertindak sebagai wakil (yang mendapat kuasa) untuk mengelola dana
2. Peserta sebagai individu dalam produk
saving bertindak sebagai muwakkil (pemberi kuasa)
3. Peserta sebagai suatu badan/kelompok,
dalam akun tabarru’ bertindak sebagai muwakkil (pemberi kuasa) untuk mengelola
dana.
4. Wakil tidak boleh mewakilkan kepada pihak
lain atas kuasa yang diterimanya, kecuali atas izin muwakkil (pemegang polis);
5. Akad Wakalah adalah bersifat amanah (yad
amanah) dan bukan tanggungan (yad dhaman) sehingga wakil tidak
menanggung risiko terhadap kerugian investasi dengan mengurangi fee yang telah
diterimanya, kecuali karena kecerobohan atau wanprestasi.
6. Perusahaan asuransi sebagai wakil tidak
berhak memperoleh bagian dari hasil investasi, karena akad yang digunakan
adalah akad Wakalah.
Kelima : Investasi
1.
Perusahaan
asuransi selaku pemegang amanah wajib menginvestasikan dana yang terkumpul dan
investasi wajib dilakukan sesuai dengan syariah.
2.
Dalam
pengelolaan dana/investasi, baik dana tabarru’ maupun saving,
dapat digunakan akad Wakalah bil Ujrah dengan mengikuti ketentuan seperti di
atas, akad Mudharabah dengan mengikuti ketentuan fatwa Mudharabah, atau akad
Mudharabah Musyarakah dengan mengikuti ketentuan fatwa Mudharabah Musytarakah.
Keenam : Ketentuan Penutup
1.
Jika
salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan
di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase
Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
2.
Fatwa
ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari
ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana
mestinya.
Ditetapkan di
Jakarta Tanggal : 23 Shafar 1427 / 23 Maret 2006 Oleh Dewan Syariah Nasional
Majelis Ulama Indonesia
DAFTAR
PUSTAKA
Dewi,Gemala.2005.Aspek-aspek Hukum dalam perbankan dan perasuransian di Indonesai.cet.4:Jakarta. Kencana Prenada Media Group
Wirdiyaningsih.2005.Bank dan asuransi
Islam di Indonesia.cet.3:Jakarta, Kencana prenada media group
Dewan Syariah Nasional. Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional. Edisi Kedua.
Jakarta:
DSN-MUI, 2003.
Best Online Casino Sites For 2021 - ChoGiocasino
BalasHapusLooking for a best casino site that suits you? ChoGiocasino is a site 퍼스트 카지노 that has been providing slots and table games for over 20 years. They provide a number